02

3.1K 279 3
                                    

Hari ke sekian, aku lega karena Rio sibuk dengan project barunya, sehingga aku bebas dari rongrongannya yang mengacaukan konsentrasi kerjaku. Namun, ada hal lain yang lagi-lagi mengganggu fokusku, yaitu pasangan pengantin baru yang sibuk ngobrol di belakang punggungku. Ah, Alya dan Mas Arda ... ngapain sih mereka harus pacaran di kantor jam tiga sore?

Kusumpel telingaku dengan earphone dan mengencangkan volumenya, lagu hits terbaru sedang mengalun merdu, menemaniku membuat laporan untuk disetor pada atasan. Kadang saat benar-benar fokus bekerja aku sampai lupa waktu dan tahu-tahu seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh kaget, "Inas?!"

Inas si perempuan manis berjilbab sudah duduk di kursi milik Alya, penghuninya pasti sudah kabur ketika jam lima dan tidak pamit karena tidak ingin menggangguku. "Masih lama lo? Jadi nggak?" tanyanya sambil melihat jam di sudut komputerku.

17.30 WIB.

Aku mengangguk, menunjuk laporan yang masih sedikit lagi. "Sepuluh menit! PM gue sudah nunggu dari tadi, gue harus kirim datanya."

"Oke." Inas yang baik bersedia menunggu dengan sabar.

Usia Inas di atas aku satu tahun dan terkadang bisa jauh lebih dewasa, sikap aslinya tenang dan slow, tapi karena terkontaminasi olehku dan Alya, terkadang dia bisa keras juga. Dia termasuk generasi sandwich, ayahnya sudah tiada, dia harus menghidupi ibunya dan seorang adik yang masih kuliah. Apa karena hidupnya banyak beban, jadi dia lebih dewasa?

Sore ini aku janji menemaninya ke mall terdekat untuk membelikan adiknya baju. Inas cerita kalau uang yang dia transfer hanya cukup untuk biaya hidup dan kuliah adiknya saja, tidak bisa untuk membeli baju baru, sementara anak kuliah zaman sekarang bajunya keren-keren.

Kami berkeliling dari satu store ke store yang lain demi membeli baju yang harganya miring namun kualitasnya masih oke. Aku terpikir untuk memberikan bajuku yang masih layak pakai tapi sudah kupensiunkan dini. Aku menggandeng lengan Inas supaya dia tidak menjauh. "Adik lo pakai jilbab?" tanyaku ingin tahu, kebanyakan kemeja yang kupunya berlengan pendek.

Inas memberi gelengan dan membuatku tersenyum. "Salah gue nih biarin dia kuliah di tempat bagus, dia gengsi banget pakai baju dari pasar biasa. Katanya kelihatan murahan!" ocehnya seperti yang sudah-sudah.

"Punya gue masih lumayan kalau dia mau." Tawarku to the point.

Inas menghentikan langkahnya dan menatap wajahku bulat-bulat. "Lo serius?"

Aku mengangguk pelan.

"Makasih! Tadinya gue juga mau tanya ke lo, baju lo kan banyak, satu mal juga lo beli!" katanya berisik. "Tapi, gue malu, hehehe."

"Ngapain harus malu sih? Gue ini temenan sama lo sudah tiga tahun, bukan tiga hari. Yuk, ke rumah gue aja. Nanti lo tinggal pilih dan paketin ke tempat adik lo."

Inas mencium pipiku sekali dan mengucapkan, "terima kasih ya, Joy. Lo baik, pantes Rio demen!"

"Kampret! Siapa yang ngajarin lo jadi resek gini? Alya ya?!" omelku sambil mencoba menahan langkahnya. Inas sudah kabur duluan, aku berjalan seperti biasa karena tumitku mulai lelah dipakaikan stiletto tinggi.

Inas bisa jalan cepat dan tidak capek karena dia selalu memakai flatshoes yang aman tapi bagiku kurang modis. Tahu sendiri, bagiku penampilan nomor satu dan aku mencintai semua brand ternama dan berkualitas bagus. Maka setengah gajiku sering kali habis untuk membeli barang-barang branded, teman shopping-ku yang paling asyik adalah Alya. Kami sama-sama demen belanja.

Inas sudah menungguku di parkiran, berdiri di depan mobilku yang baru dibelikan oleh Papa. Aku anak tunggal, tidak heran kalau orangtuaku mau menggelontorkan uang demi anaknya, kan? Aku berjalan terburu-buru sampai tidak lihat ada orang yang sedang menunduk dan membenarkan tali sepatunya, aku menubruk punggungnya dan membuatku hampir terjatuh.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now