27

1.7K 198 19
                                    

"Gue dengar Om Mamet pindah ke ITA." Ujar Alya begitu aku merebahkan pantat ke sofa.

Aku menguncir rambut dengan malas, untel-untelan tidak ada bagus-bagusnya. "Iya. Sebel!" sahutku cemberut.

Hari ini kegiatanku tak begitu padat, sehingga bisa pulang on time dan mampir ke apartemen Alya. Aku ingin melihat tampang bayinya yang mulai tembam seperti bakpao. Mas Arda tidak kelihatan berkeliaran di sini, mungkin belum balik.

Alya menyuguhiku makan malam enak dan camilan yang ART-nya buat. "Ibu mertua nggak nginap lama, soalnya kan harus nemenin suami dan anak di Cirebon. Akhirnya Mas Arda minta dicariin ART yang pengalaman ngurus bayi dan bisa apa saja, ketemu deh Mbak Eri."

Aku sudah melihat Mbak Eri itu, usianya sekitar akhir tiga puluhan, wajahnya manis, menutup aurat, dan sopan. "Cocok?" tanyaku pelan.

"Lumayan buat bantu-bantu beberes, masak, kadang aku titipin Saki kalau aku mau mandi sore. Kalau pagi sih masih ada Mas Arda, dia yang ngajak Saki main." Jelas Alya senang. "Gue titip Saki dulu, pengin ke toilet."

"Sini sama Onti Cantik ya Saki..." bayi itu sudah berada dalam pangkuanku, sepasang mata lembutnya masih terbuka lebar dan senyumnya tampak manis. "Boleh dibawa balik nggak sih, Sis, anak lo?" kutatap punggung Alya yang menjauh.

Alya menoleh ketika di depan kamarnya, menatapku tajam. "Bikin sendiri!"

"Hiks!" obrolan kami berlanjut setelah Alya kembali dari kamarnya. "Gue nggak buru-buru nikah lah ya. Nyokap juga santai. Cuma demen banget sama dedek Saki, pengin gue bungkus!"

"Lo kira anak gue makanan dibungkus?" Alya mengusap-usap pipi tembam anaknya yang masih berada di pangkuanku. "Inas sibuk banget ya? Ngerjain project siapa dia?"

"Mas Amran dong, siapa lagi?"

"Lo sudah di bawah bimbingan Mas Damar sekarang ya? Gue dengar dari Mas Arda kemarin."

Aku mengangguk dan pura-pura cemberut.

"Kenapa?"

"Sama Rio lagi," curhatku. "Terus kita akhirnya sering bareng, mau nggak mau sih, demi kerjaan cepet kelar. Kemarin dia bantu gue bikin blue print sampai lembur tiga hari tiga malam. Di ruang meeting sih bareng sama Mas Damar, tapi Rio harusnya nggak ikut..."

"Baik dia sama lo."

"Tapi bikin gue risih."

Interkom apartemen Alya berbunyi, seseorang minta dibukakan akses. Alya tak tahu siapa yang datang, pasti bukan suaminya dong, suaminya kan tidak perlu tekan bel segala.

Aku masih memangku Saki yang mulai ngantuk ketika Alya membukakan pintu untuk tamu lain.

"Hai, Met!" sapa Alya semringah.

Kepalaku langsung berputar sembilan puluh derajat. Demas. Ngapain dia ke sini?

Gggrrrrr!!!

"Masuk sini," Alya menyuruh sepupunya masuk dan menutup pintu kembali. "Kok nggak bilang mau ke sini? Kangen ya sama anak gue, hihihi." Kelihatannya Alya senang sekali dengan kehadiran Demas. "Lo sudah makan belum?"

"Ada apa memangnya?" Demas baru menjawab setelah ditanya soal makanan, dasar perut gentong!

"Jangan kayak dia ya, Saki. Nggak sopan!" diam-diam aku bicara pada bayi yang tidak tahu apa-apa. "Saki bobo oh Saki bobo ... kalau tidak bobo, Onti bawa pulang..." aku mengalunkan lagu untuk Saki.

"Sembarangan!" sentak Alya dari arah pantri.

"Cuma nyanyi, Sis. Sensi amat!" balasku berang. Saki sampai kaget, aku berdiri dan membawanya keliling ruang tengah. "Cup, cup, cup ... bobo yuk, sudah malam, nanti main lagi kalau mataharinya sudah terbit." Kubawa Saki ke dekat jendela yang dibiarkan terbuka, melihat penampakan wajah Jakarta yang gemerlap.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now