05

2.1K 229 10
                                    

Mataku mengawasi power point di depan, sementara tanganku mencatat sesuatu. Siang ini aku menghadiri meeting dengan petinggi perusahaan, beliau ingin melihat sampai mana perjalanan project baru kami. Manager-ku, Mas Amran, sedang mempresentasikan project timeline di depan bos dan timnya, aku ikut menyimak dan mencatat hal-hal penting di rapat ini.

"Kamu pastikan project-nya tetap lancar, ini sudah bagus dari tim kamu yang sebelumnya." Ucap Big Boss pada Mas Amran yang sudah duduk.

"Baik, Pak."

Bis Boss menatapku penuh wibawa. "Zoya, pastikan everytime bahwa development sesuai desain yang kita sepakati. Jangan lupa progress report-nya datang ke meja sebelum jam empat!" ucapnya tegas.

"Siap, Pak." Ucapku dengan anggukan. Beliau pasti tahu bahwa kemarin report-ku terlambat ke meja Mas Amran karena sempat menemani Alya di rumah sakit.

"Maksimalkan kerja kalian supaya budget tidak melebihi dan on time." Ucap Big Boss mengakhiri rapat kali ini, beliau keluar lebih dulu dan meninggalkan kami.

Mas Amran mematikan proyektor dan menatapku awas. "Sebelum jam empat ya Joy!" titahnya.

"Iya, Mas."

"Lain kali kalau lo ada urusan di luar, lo kabarin gue dulu. Biar gue cari alasan sama Bos. Kemarin Bos datang ke ruangan gue, mendadak, minta report harian. Repot banget gue nyariin lo." Ceritanya setengah mengadu. Saat Big Boss sedang kerajinan, kadang menyidak ruangan bawahannya dan mengecek ini dan itu, bahkan perintilan sepele pun tak luput dari pengawasannya.

"Iya, Mas Amran. Gue langsung kerjain sekarang."

Mas Amran mengangguk. "Bagus."

Aku dan yang lain buru-buru keluar. Setelah dari ruang meeting, aku mengambil kertas kerjaku dari meja, membawanya ke development team untuk membuat laporan harian. Di ruangan pengambangan sistem aku bertemu dengan Inas yang sedang fokus membuat database perusahaan retail. Aku melewatinya karena tak mau menganggu, lalu fokus pada pekerjaanku sendiri.

"Semuanya lancar, aman." Kata salah satu programmer dalam timku. Aku mencatat progress hari ini dan membawanya ke meja kerja.

Di sana aku langsung mengadukan unek-unekku pada Alya. Benar, dia nekat masuk kerja setelah kemarin pingsan. Katanya sih sudah baik-baik saja. "Aduh, gue kayak nggak punya kehidupan selain ngurusin pekerjaan, nggak ada bahu yang bisa gue sandarin, Al..." curhatku sambil meletakkan kening ke meja. Capek sekali rasanya.

"Ada, bahu jalan." Komentar Alya, dingin.

"Iya, terus mati!" kataku sambil mengangkat wajah.

Alya meringis kecil, "katanya mau nikah dulu sebelum mati? Mau rasain jadi istri?"

"Iya sih. Tapi lo yang suruh gue nyandar di bahu jalan, kan?"

"Bercanda, Joy. Jangan diambil hati," Alya menepuk lenganku setelah bangkit dari kursinya.

"Mau ke mana lo?" tanyaku kebingungan.

"Makan siang sama Mas Arda. Jam dua belas, Joy!" katanya mengingatkan.

Oh ya? Aku lelah mondar-mandir sampai tak sadar ini sudah jam berapa.

Alya meninggalkanku setelah dihampiri suaminya, aku menyender ke kursi sambil memainkan ponsel, menatap nomor Slamet yang belum kuhubungi. Seumur hidup, ini pertama kalinya seorang Zoya naksir cowok dan nekat mau datangin alamat rumahnya dengan alibi; mau membenarkan laptop Papa yang sempat rusak. Aneh, kan?

Terserah. Namanya juga usaha.



---



Sabtu ini aku sudah berdiri di sebuah bangunan dua lantai yang cukup lapang dan area parkirnya muat untuk tiga mobil, sudah ada Avanza terparkir di sana dan sebuah Kawasaki Ninja 250 CC warna grey metallic. Karena susah masuk aku memutuskan untuk memarkir mobil di tepi jalan. Semoga tidak ada razia di daerah sini, tapi sepertinya aman.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now