42

1.5K 242 19
                                    

Setelah tempo hari semua orang membicarakan keributanku dengan Rio, kini mereka membicarakanku yang baru saja terlihat jalan berdua di mal dengan Demas. Ribet sekali kalau kita pacaran dengan rekan kerja sendiri, gosipnya diomongin oleh orang sekantor!

Terus terang saja, aku tidak pernah suka terlibat cinta lokasi, tapi kasus ini pengecualian karena orang yang jadi kekasihku adalah Demas. Ya, walaupun semua orang menatap kami aneh, aku berusaha tidak peduli dan tetap menjalani ini semua. Dan Demas tampak biasa saja menyikapi gosip yang masih berseliweran tentang kejadian tempo hari; antara aku dan Rio. (Baca di KK)

Aku tak sengaja berpapasan dengan Demas setelah keluar dari ruang meeting, dia mencegatku dan membawaku ke tepi. "Mau makan di mana, Dek?" ucapnya tanpa ba-bi-bu lagi.

Dek. Mendengar dia memanggilu seaneh itu membuatku geli sendiri. Aku belum terbiasa dan baru pertama kali dipanggil "dek" oleh seseorang.

Kutatap folder merah dalam pelukanku. "Di sini aja, aku banyak kerjaan. Kamu?"

"Sama."

"Bareng?"

Demas memasukkan tangannya ke saku celana. "Lihat nanti."

Ih, tinggal jawab aja mau! Apa susahnya sih? Lagipula bukannya dia yang tanya? Kadang-kadang aku merasa tak sabar dengan sikapnya yang seperti ini, membuatku geregetan ingin menjewernya.

"Ya sudah, kabarin kalau bisa ke kantin bareng. Aku pergi dulu," tukasku buru-buru. Di ujung lorong Mas Damar tersenyum penuh maksud. Ah, dia juga menyadari keganjilanku dengan Demas, untungnya dia tidak suka ikut campur urusan kami.

Pukul dua belas siang, Inas mendatangi mejaku setelah sibuk dengan berkas yang harus dia copy. Sebelumnya aku tak tahu kalau Inas sudah ada di belakang kursiku, jadi sejak tadi aku tetap menggumam sendiri seperti orang gila. Aku menoleh padanya, saat itu ia mengernyitkan kening.

"Lo lagi ngomelin siapa dari tadi? Ngomong sendiri..." lirihnya heran.

"Ehm, sama diri sendiri." Sahutku tak mau jujur. Kutumpuk folder yang sudah selesai kupakai, meletakkan di sudut meja, lalu berdiri mengajak Inas ke kantin.

Inas menatapku awas. "Rio?"

"Kenapa harus Rio?" sahutku dengan nada kesal. Gara-gara Rio menyambangi mejaku tempo hari dan memancing emosiku, kami jadi bahan gunjingan orang-orang di sini. Inas juga salah paham, dia mengira kalau aku masih marah dengan Rio, padahal aku sedang mendumal pada Demas yang belum memberi kabar sejak pertemuan tadi.

Bisa atau tidak, harusnya dia WhatsApp padaku. Aku kan selalu butuh afirmasi darinya, bahkan hal remeh seperti ini saja tetap kutunggu kabarnya.

Inas menyenggol lenganku. "Kemarin katanya malas pacaran sama rekan sendiri, sekarang apa?" sindirnya. Dia orang pertama yang tahu hubunganku dengan Demas, lalu Alya, lalu Mas Arda.

Benar, setelah malam itu aku langsung memberi kabar pada dua sahabatku, mereka memberikan sambutan yang berbeda.

Inas bilang, "ah, cuma pacaran, kirain lo dilamar, Sis!". Sementara Alya, "selamat ya onti dan omnya Saki. Kapan-kapan main bareng dong!"

Aku mendesah keras, tak peduli dengan lirikan orang di sebelahku yang juga sedang mengantri di depan lift. "Hati mana bisa dipaksa sih? Suruh belok tetap nggak bisa."

"Jadi, selama ini lo memang suka ya sama Demas?" cecar Inas. "Gue kira lo cuma naksir terus nggak lama pudar," ledeknya cekikikan.

"Enggak kok. Sok tahu." Aku mengelak, masa mau jujur sih? Biar Demas dan aku saja yang tahu rahasia ini, makin eksklusif makin baik. Tapi, ada satu orang yang jelas-jelas tahu bahwa aku suka Demas sejak lama, yaitu Alya.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now