40

2.2K 250 36
                                    

Demas tetap hening. Aku membeku, jari-jariku terasa dingin, aku masih memegangi ujung rok dan tidak bicara sepatah katapun meski mobil hampir sampai di depan rumahku.

Lagi dan lagi, jika teringat kejadian lalu aku merasa sangat bodoh. Sebagai perempuan aku pun merasa malu. Sepertinya tidak ada perempuan di dunia ini yang pernah melakukan hal sememalukan ini; mengakui perasaan di depan lelaki cuek dan dingin, lalu ditolak begitu saja.

Aku menyesal, tapi sudah telanjur terjadi, sudahlah. Lupakan kejadian itu. Aku tidak akan pernah mengulangnya lagi sampai mati.

Mobil benar-benar berhenti di depan gerbang rumahku. Setelah membuatku terpaku dan salah sangka karena niatnya memasangkan sabuk pengaman, kini dia malah melepaskan sabuk pengamanku dan membuatku harus menahan napas sesaat. Aku tak mau mengendus aroma Davidoff itu lagi.

"Boleh ngomong sebentar?" tukasnya lembut.

Suaranya selembut itu, dia juga tetap tenang meski sudah kubentak saat di parkiran tadi. Sikapnya yang santun membuat aku malu sendiri, aku jadi tidak enak sudah mengeraskan suara berkali-kali.

"Ngomong aja, nggak bayar." Balasku setengah bercanda, ini semua demi mengusir rasa bersalahku.

Demas tersenyum kecil, tangan kanannya masih di atas kemudi dan tangan kirinya berada dipangkuan. Gagah sekali, ganteng sekali.

"Eh, ini mobil Adam bukan sih? Kok beda..." ucapku akhirnya, rasa penasaranku sudah tidak tertolong lagi.

"Mobil gue, Lukas nawarin ini karena mau beli mobil baru."

Mataku mengerjap-ngerjap, takjub. "Oh ya? Jadi nggak pakai motor lagi?" sayang sekali, padahal dia sangat keren kalau naik motornya. Aku juga tidak keberatan diajak keliling di malam hari dengan motornya.

"Masih kok, kadang-kadang."

Aku menoleh ke jok belakang yang kosong dan gelap, terlihat masih bagus dan mulus. "Rezeki banget ya. Cocok sih sama gaya lo, keren."

"Gue keren?"

"Eh, enggak." Ucapku buru-buru, wajahku langsung panik. "Maksud gue ... mobilnya yang keren." Kamu juga sih, tapi dulu, waktu aku belum patah hati sama kamu, kalau sekarang aku lagi sebeeel banget sama kamu, ujarku dalam hati.

Aku menatap pintu gerbang yang belum terkunci. "Tadi, mau ngomong apa?"

Demas menegakkan duduknya. "Maafin gue ya, Zoya. Entah berapa kali gue harus minta maaf sama lo. Tapi gue benar-benar merasa bersalah dan pengin banget dimaafin sama lo."

Aku mengangguk tanpa ragu. "Gue juga salah kok. Lo punya hak untuk menerima atau enggak. Kita impas." Usai mengatakan itu, hatiku lebih lega dan bebas.

Demas tersenyum dan senyumnya manis sekali. "Iya. Setiap orang punya kebebasan untuk memilih atau memutuskan sesuatu, tapi mungkin cara gue ngomong ke lo memang salah."

"Sudah?"

"Masih ada lagi, sebentar." Dia mengusap-usap pahanya. "Atur napas dulu deh, mendadak grogi soalnya."

"Ha? Grogi kenapa..." tanyaku bingung.

"Zoya," ucapnya dalam, tatapannya teduh seperti bangunan kokoh yang mampu melindungiku dari apapun. "Gue ... beneran suka sama lo. Gue nggak main-main."

Aku menggeleng berat. "Sori?"

"Gue serius. Gue nggak mabuk, nggak ngantuk. Gue sadar sesadar-sadarnya."

Aku meneguk ludah.

"Lo mau kan kasih gue kesempatan? Gue juga nggak akan paksa lo buat jawab sekarang. Lo boleh kasih tahu jawabannya kapan pun, asalkan ... lo beneran sudah maafin gue, lo kasih gue kesempatan." Jelasnya kikuk. Demas juga terlihat setengah memohon. "Maafin gue. Gue tahu, gue salah. Tapi, sekarang gue beneran suka sama lo, Zoya. Gue nggak bisa nahan diri pas lihat lo sama Rio."

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now