39 - Tenggelam Bersama

204 69 9
                                    

Tujuh tahun lalu, Wibisana Bima masih berpangkat Inspektur Satu. Malah ia baru saja naik pangkat dan hidup normal seperti teman-teman satu angkatannya dari Akademi Kepolisian. Kehidupan cintanya pun bisa dibilang menjanjikan. Kekasih Wibi adalah putri satu-satunya dari salah satu petinggi di Polri. Prameswari bukan hanya cantik dan terampil, ia juga menjadi incaran PAMA alias perwira pertama lainnya.

Banyak yang mengira kalau Pram akan berakhir dengan Catur, tapi rupanya lelaki dengan rahang tajam persegi itu tak tertarik. Pram malah berakhir dengan sahabat Catur, Wibisana Bima. Wibi tampak lebih normal dan dapat dikatakan lebih lemah jika dibandingkan dengan polisi lainnya. Bahkan banyak yang menjelek-jelekkan Wibi. Ia kerap dianggap kurang 'lelaki'.

Hubungan Wibi dan Pram baik-baik saja, kendati banyak kasak-kusuk yang mengatakan bahwa mereka kurang cocok. Namun, pasangan itu masih berhubungan cukup lama dan tidak mendengar gosip sekitar. Bagi keduanya, cinta adalah hal yang terpenting dan harus mereka lestarikan jika ingin berakhir ke pelaminan. Dunia yang tak setuju, tak menggoyahkan keduanya.

Hanya saja...

Satu permintaan pelik menghancurkan masa depan Wibi.

***

Wibi tak pernah punya ambisi, selain tentu saja menjadi sosok yang tidak dianggap bayangan sosok sempurna Catur Pandita. Orang seperti Catur lahir di keluarga polisi, memiliki otak cemerlang, karier yang gemilang, dan sejuta sumber iri dengki polisi lainnya. Meskipun pada awalnya Wibi tak iri pada Catur, entah mengapa akhir-akhir ini, dirinya termakan iblis iri dengki itu. Ia menjadi mudah terhasut, apalagi jika hal itu menyangkut Pram.

Pernah pada suatu hari, Pram mengajak Wibi untuk makan malam di keluarga besar gadis itu. Kekasihnya berkata bahwa ayahnya berulang tahun. Tentu saja Wibi tak bisa menolak.

Namun, saat Wibi pergi sejenak untuk ke kamar mandi, ia kembali hanya untuk mendengarkan dirinya dijelek-jelekkan. Ia bahkan tak berani mengetuk pintu dan kembali masuk di acara makan malam hangat itu.

"Papa sudah bilang, kamu lebih cocok bersama Catur. Kalau kamu sama dia, tentu saja nanti Papa bisa saling berbesan dengan calon pimpinan Kementerian Pertahanan. Begitu saja masa kamu tidak paham?" kata ayah Pram.

Wibi urung masuk dan hanya bersandar di dinding ruang makan VIP.

Pram terdengar marah-marah. Bahkan dinding ruang makan VIP yang katanya bebas penguping, tetap saja ditembus teriakan gadis itu. "Papa ini yang dipikirin cuma lobi-lobi politik aja! Papa kapan, sih, pernah mengerti aku? Mana bisa aku sama Catur?! Dia juga nggak mau sama aku! Lebih baik aku sama orang yang mencintaiku dan aku juga mencintainya."

"Kamu kira, hidup itu hanya makan cinta?"

"Aku udah nggak mau peduli apa kata Papa. Silakan Papa cari orang lain buat lobi-lobi politik Papa yang nggak jelas itu."

Pram minggat dari tempat makan dan menuju pintu. Tak disangka ia langsung berpapasan dengan Wibi di luar. Saat itu, wajah Pram tampak terkejut sekaligus iba. Ia merasa telah menyakiti Wibi walau tak secara langsung. Satu hal yang Wibi tak suka, menjadi sumber iba orang lain. Ia bukan gelandangan, bukan pengemis, mengapa ia harus ditatap seperti baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga?

Keduanya pulang dan sepanjang perjalanan, Wibi tak mengatakan apa-apa. Rasa malu menjalar di seluruh tubuh. Sudah dimaki-maki calon mertua, pulang pun masih Pram yang harus mengantar dengan mobil. Wibi sadar, sebagai Ipda yang hidup dari pajak negara, ia masih belum bisa menjadi menantu idaman. Apalagi ia bukan orang yang didambakan jenderal polisi seperti ayah Pram.

"Wibi, maafin papaku ya," ujar Pram saat mobil telah berhenti dan terparkir di gang masuk menuju kawasan indekos Wibi.

"Nggak masalah, Pram. Aku udah biasa digituin," jawab Wibi. Tak ada kata-kata manis seperti biasa. Ia hanya menjawab datar. Wibi sudah pasti terluka.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang