35 - Launcher

252 74 9
                                    

Pada hari yag dinantikan, Wibi hanya bisa bekerja dengan Klaus. Feisty menjanjikan bahwa dia akan membawa si pencuri ke hadapan keduanya agar bisa dia siksa. Namun, sampai pada waktu peluncuran, gadis kasar itu belum juga datang.

"Apa kita perlu mulai tanpa Feisty, Bos?" tanya Klaus.

Wibi mengangguk. "Mulai saja, toh dia juga tidak bisa coding. Dia sudah kuberi tugas lain, melenyapkan hewan pengerat sasaran kita jika ketemu," balas Wibi. Pria necis itu masih tampak berantakan tak seperti biasa. Berkutat dengan kontrak mematikan kelompok aktor negara dalam membuatnya tak punya pilihan. Ia harus menyelesaikannya jika ingin kembali hidup normal. Itu juga kalau kata 'normal' mau mampir lagi dalam kamusnya. Sejak diminta meretas sebuah data di server kepolisian, hidupnya berubah dan jungkir-balik. Semua pencapaian, darah, dan air mata untuk masuk Subdit IV, hilang seperti kabut. Sahabat dan kekasih, juga meninggalkan dirinya.

Semua hanya karena dia harus menghapus bukti-bukti penganiayaan.

Yang dilakukan oleh ayah sahabatnya, ayah Catur.

Sejak saat itu, Wibi beralih ke dunia gelap dan berkontak dengan kelompok paling berbahaya di negara dan tak kasat mata, para deep state actors Big Brother.

"Ayo mulai, Klaus." Wibi menghapus nostalgia masa lalunya yang buruk dan duduk di meja kerja yang melingkari ruang tengah rumahnya. Ia berhadap-hadapan dengan si gempal Klaus. Sebelum memulai, Wibi meregangkan otot-ototnya dan mulai mengetik.

Halaman terminal buka beberapa. Wibi login ke satu per satu server aplikasi resmi negara yang akan disusupi program 1984.

"Prototipe siap," kata Klaus.

Jari-jemari Wibi bergerak cepat. Setelah itu, dia menjawab, "Aplikasi Asuransi Kesehatan Indonesia (AKI) sudah bypassed. Inject prototipe sekarang."

Klaus mengangguk. Kini giliran jari-jarinya yang menari di papan ketik. Setelah menekan enter, suara latar belakang pengunggahan program sisipan selesai. "Aplikasi AKI selesai."

Wibi kembali mengangguk dan lanjut mengetik lagi. Terus saja hal itu berulang, mulai dari aplikasi satu ke lainnya.

"Biometrik warga," lanjut Wibi.

Klaus mengetik, lalu menjawab, "Prototipe terpasang."

Dibalas lagi dengan anggukan Wibi, yang kemudian mendikte, "Aplikasi Patroli Siber."

"Terpasang."

Keduanya terus mengulangi hal yang sama hingga semua prototipe 1984 terpasang.

Di berbagai belahan Republik Indonesia, aplikasi-aplikasi tersebut macet selama dua detik. Salah satu bug dari program yang dibuat Wibi memang belum sempurna. Ia terpaksa meluncurkannya agar bisa menghindari masalah yang lebih besar lagi. Mati menembak diri. Cepat atau lambat, Big Brother pasti akan tahu kalau program itu belum sempurna. Pada saat itu terjadi, Wibi bisa mengulur waktu untuk mempersiapkan pelariannya.

***

Di Subdit IV, Catur Pandita sedang memeriksa berkas laporan tambahan di unggahan Patroli Siber saat komputernya tiba-tiba eror. Hanya saja, tak ada Andar yang biasa membantunya. Perwira itu menghampiri sesamanya di Unit 3.

"Mas Wicak, situs Patroli Siber eror ya?" tanya Catur.

Wicak menengok Catur sembari berpangku dagu. "Ah, masa sih? Ini saya aman-aman aja," balas Wicak cepat.

Catur mengintip dan melihat aplikasi itu aman. Ia pun kembali ke mejanya dan beralih pada aplikasi Patroli Siber lagi. Benar saja, setelah hang selama dua detik, komputernya kembali berfungsi dan aplikasi laporan warga terhadap tindak pidana siber itu juga sudah berjalan normal.

Namun, bukan Catur namanya kalau tidak curiga.

***

Di sudut Jakarta lainnya, Adin Fikri tengah duduk. Ia memantau monitor yang tersambung ke mainan kecilnya, sebuah Raspberry Pi yang diisi sistem operasi ringan. Saat melihat beberapa sistem negeri macet selama dua detik, Adin yakin kalau 1984 akhirnya telah terpasang, dengan atau tanpa program serpent_soul yang ia curi. Kelompok Big Brother tak main-main. Meskipun telah kehilangan separuh logika programnya, tetap saja proyek mereka meluncur.

Adin pun bergegas membereskan lagi barang-barangnya dan hendak berpindah dari lokasi kumuh yang bisa ia sewa harian. Saat menuruni tangga, ia bersenggolan bahu dengan perempuan yang hendak menaiki tangga.

"Maaf!" seru Adin.

Lelaki canggung itu melanjutkan perjalanannya menuruni tangga. Namun, baru saja menuruni sekitar lima anak tangga, langkah Adin melambat. Perutnya terasa nyeri. Ia menunduk dan melihat darah mulai menetes.

Saat tangannya memegangi perut bagian tengah, tangannya dibanjiri darah segar. Segera saja Adin menengok ke belakang, arah naiknya perempuan di kawasan kumuh itu.

Mata lancip perempuan pendek itu mengintip dari balik tudung jaket. "Gotcha," katanya dengan seringai menyeramkan. Sebilah belati dengan darah menetes, tersembul di balik lengan jaket kepanjangan yang perempuan itu gunakan.

Pelarian Adin sia-sia. Ia menggelinding di tangga kawasan kumuh itu, tanpa satu orang pun saksi.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang