8 - Pentester

319 86 11
                                    

Empat hari setelah berita tentang Patroli Siber diluncurkan, kantor Lucene lebih ramai dari biasanya. Beberapa klien menelepon Mona, sebab gadis itu memang memegang beberapa klien besar yang memakai jasa Lucene. Sebagai project manager di tim utama, Mona jadi kewalahan. Dodi dan Nitta belum datang, mungkin semalam baru saja membereskan pekerjaan sampai pagi.

Di tengah-tengah kesibukan Mona, seorang lelaki tampak memasuki kantor Lucene. Ia berhenti di depan meja resepsionis yang dijaga oleh lelaki lebih muda, berkumis, dan memakai setelan safari warna biru muda. Lelaki itu tengah menulis sesuatu.

"Maaf, Mas," ujar tamu Lucene memecahkan konsentrasi resepsionis.

Resepsionis itu menengadah ke arah tamu, kalung identitas karyawannya bergoyang. "Ya. Ada yang bisa saya bantu?" balasnya sopan.

"Bisa bertemu dengan Pak Bambang Santoso?" tanya tamu lagi.

Resepsionis mengecek komputer, lalu melihat jadwal harian. "Maaf. Pak Bambang Santoso hari ini sedang ada agenda meeting, baru kembali ke kantor setelah makan siang. Jika mau menunggu, Bapak bisa mengisi informasi tamu dan duduk dulu," balas resepsionis sembari menunjuk ke sudut kanan, tempat dua sofa two seater berjejer.

"Oke," tutupnya. Si tamu kemudian mengisi daftar pengunjung.

Resepsionis mengambil alih buku tamu dan mengeja nama tamu untuk mendaftarkannya ke antrean agenda Bambang Santoso, bos tunggal di kantor Lucene yang sederhana. "Mahendra Caraka ya? Betul seperti ini?" ulang resepsionis, kalau-kalau dia salah menuliskan nama tamu ke agenda.

Caraka, tamu yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan, mengangguk cepat. Resepsionis menyilakan Caraka agar duduk dulu. Bahkan ia memberi informasi Wi-Fi untuk tamu, siapa tahu Caraka hendak menggunakannya. Benar saja, baru beberapa menit duduk, rasanya kaki Caraka sudah tak betah. Ia membuka laptop dan mengerjakan sesuatu di sana.

Pukul sebelas siang, Nitta dan Dodi masuk berbarengan. Seperti biasa, kacamata berbingkai tebal milik Nitta hanya tersampir di kerah sweternya. Dodi malah masuk sembari makan es krim dan beberapa tetes cokelat meleleh di lantai.

"Yah, Dod, jangan belepotan gitu dong. Kasihan Bang Tiko, ngepel dari subuh-subuh," gerutu Nitta melihat temannya yang jorok itu.

Dodi hanya mengangguk malu dan menelan bulat-bulat sisa semprong es krim. Dia lalu membuang bungkusannya di tempat sampah sebelah kursi tamu.

Nitta melirik kursi tamu dan menyadari ada orang tengah duduk di sana. "Eh, ada tamu, San?" tanya Nitta langsung pada resepsionis setelah ia mengangguk sopan pada Caraka.

Isan, resepsionis Lucene, menjelaskan, "Tamunya Pak Bambang, Mbak Nit. Saya sudah input ke agenda."

Nitta hanya mengangguk pelan, lalu menarik lengan baju Dodi dan segera masuk. "Ayo buruan, Dod. Si Mona marah-marah nih, banyak kasus katanya."

"Iya sebentar, gue ke toilet dulu deh, mau cuci tangan," tutup Dodi.

Keduanya berlalu dan menghilang di balik dinding pembatas antara lobi dengan kantor utama Lucene. Setelah mengabsen diri di mesin identifikasi dengan sidik jari, Dodi menuju toilet, sementara Nitta langsung menuju kubikelnya.

Di kubikel Mona, gadis itu masih bertelepon dengan klien. Beberapa saat mengetik sesuatu di agenda digital, lalu menelepon klien lainnya. Nitta tak jadi mengganggu Mona dan langsung melanjutkan beberapa pekerjaan yang masuk ke surelnya.

"Nit, orang Deka nanya soal alert merah kemarin. Katanya kamu nggak bisa ditelepon," kata Mona kemudian.

Nitta hanya menatap laptop, lalu mengetik sesuatu. "Laporannya baru kukirim nih. Maaf, aku baru pulang jam tiga pagi dan nggak langsung kirim laporan vulnerability assessment. Mataku udah kriyep-kriyep, ngantuk berat. Biar nggak salah kirim laporan, makanya baru kukerjakan tadi jam tujuh pagi. Lumayan, bisa tidur empat jam."

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang