32 - No Distance Left to Run

181 72 0
                                    

Hanya dalam waktu singkat, hidup Nitta berubah kompleks. Kini ia menduduki salah satu ruangan rapat di Subdit IV, dekat kubikel Unit 1. Saat Catur duduk di hadapannya dan menyodorkan segelas air, Nitta memandangnya sinis.

"Sengaja nggak bawa saya ke ruang interogasi biar gampang dapat informasi ya?" repet Nitta.

Catur tertawa pelan. Ia bahkan menutupi bibirnya agar tak terkesan menghina. "Sebenarnya yang mau menginterogasi itu, siapa, Mbak?" balas Catur ramah. Ia mendorong kursinya mendekat maju, sehingga keduanya kini berhadap-hadapan dalam jarak yang cukup dekat.

"Lho? Terus kenapa mengejar saya, sih?!" pekik Nitta sembari mengernyitkan dahi.

Catur duduk santai di kursinya dan mulai menyeruput minuman. Setelah menelannya dengan tenang, Catur kembali bicara, "Kalau nggak mau dikejar, kenapa lari?"

Nitta terdiam. Benar juga. Sebenarnya kalau dia bersikap biasa saja dan menyapa selayaknya seorang atasan yang memang sedang mencari bawahannya, dia tak harus terlibat seperti ini dan berada di kandang musuh terbesarnya, Polisi Siber.

Nitta mengembuskan napas berat. Bibirnya kering dan terdengar suara menelan ludah. Catur tersenyum ramah lagi dan menawarkan minuman yang asapnya masih mengepul dari gelas di hadapan Nitta. "Diminum dulu tehnya, biar tenang. Baru kita bicara."

Akhirnya, gadis itu menyetujui tawaran Catur. Ia menyeruput teh hangat sejenak dan menenangkan diri. Sejujurnya, otak gadis itu sudah kusut. Ia tak tahu harus bagaimana dan meminta tolong siapa. Namun, mempercayai polsib juga bukan pilihan terbaik.

Catur memangku dagu dengan kedua tangannya. Kali ini ia memandang Nitta dengan serius. "Kamu mau cerita? Saya bisa ajak kamu ke tempat selain kantor ini jika memang merasa tak nyaman di sini."

"Yang benar? Saya tidak akan ditangkap, kan?"

"Saya nggak ada alasan buat menangkapmu, Mbak Nitta. Bagaimana?" tawar Catur lagi.

Nitta mengangguk dan keduanya bergegas pergi dari ruang rapat. Saat melewati Unit 1, Tere dan Andar berdiri bersamaan.

"Lho, Bang? Mau ke mana?" tanya Tere serius. Wajahnya tampak mengintimidasi.

"Sudah selesai kok, Ter. Nanti laporannya saya aja yang buat," jawab Catur. Ia pun memandang Andar yang sepertinya masih mengatur napas karena habis berlari seperti anjing gila.

Namun, bukannya menatap sang atasan, Andar malah memandangi Nitta. Tampak wajah khawatir dari lelaki itu. Nitta sendiri jadi bingung. "Orang aneh mana lagi ini?" pikirnya.

"Nah, saya antar Mbak Nitta dulu. Kalian lanjutkan pekerjaan. Nanti saya kasih simpulannya setelah kembali ya," tutup Catur. Ia pun pamit dan saat melewati pintu keluar, Catur dan Nitta berpapasan dengan Wicak.

"Lho? Siapa ini, Bang Catur?" sapa Wicak ramah. Keduanya bersalaman.

"Oh, bukan siapa-siapa kok. Ini kenalan saya sedang mampir. Mari Mas Wicak." Catur menyalami Wicak dan pamit.

Nitta tak menyapa sama sekali dan hanya mengekori Catur. Setidaknya, pilihan kabur yang ditawarkan Catur terdengar lebih menggiurkan.

Keduanya menuju parkiran mobil. Nitta duduk di kursi penumpang depan dan Catur bergegas menduduki kursi pengemudi dan menyalakan mobil. Baru saja ia memasang sabuk pengaman, Catur menepuk dahinya. "Aduh, sebentar. Tablet kantor saya lupa."

"Jangan!" seru Nitta tiba-tiba. Catur serta-merta menoleh.

"Kenapa memangnya?"

"Sebaiknya jangan bawa alat komunikasi. Tolong. Kali ini saja Bang Catur harus percaya saya," ujar Nitta penuh teka-teki. Catur menurut saja dan mereka pun keluar dari Polda Metro Jaya.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang