29 - A Flying Spy

212 70 8
                                    

Stasiun Manggarai ramai oleh para penumpang yang hendak transit ke berbagai stasiun kereta lokal lainnya. Total ada sembilan peron di Stasiun Manggarai. Tujuh peron untuk kereta lokal sementara dua peron sisanya digunakan untuk kereta langsiran atau lokomotif yang lewat. Setelah sampai di stasiun tersebut, tanpa bicara apa-apa, Caraka langsung menuju peron jalur tiga untuk menunggu kereta arah Jakarta Kota.

Nitta yang jarang menaiki kereta lokal, terpaksa harus membeli kartu harian dengan membayar sepuluh ribu rupiah. Kartu tersebut bisa ditukarkan kembali menjadi uang jika ada saldo sisa. Sambil tergopoh-gopoh, gadis itu mengejar langkah Caraka yang cepat. Kaki Caraka ternyata cukup panjang. Ia juga cukup tinggi. Padahal, biasanya Nitta hanya melihat sosok Caraka yang suka membungkuk dan berjalan pelan di kesehariannya.

"Sudah kuduga. Dia menipuku selama ini," pikir Nitta. Ia bergegas mengikuti Caraka dan menarik lengan kemeja flanel lelaki itu saat hendak menyeberang. "Aku bilang tunggu! Kamu nggak dengar ya!"

"Cepat, sebentar lagi keretanya datang," kata Caraka pelan. Mereka menyeberangi peron dan mengambil jalur tiga. Petugas stasiun memberi perintah agar para penumpang mundur ke belakang garis kuning. Suara peluit dari ruang petugas persinyalan kereta sudah terdengar. Lampu merah di ujung peron menyala.

Lautan manusia membanjiri stasiun saat kereta yang berasal dari Bogor itu berhenti. Kedua karyawan Lucene menunggu dengan sabar saat para penumpang saling memaki karena merasa terhalangi. Setelah aman dan bunyi peluit kembali berkumandang, Caraka menggamit lengan Nitta cepat. "Ayo buruan, jangan melamun. Kamu bisa kejeblos," kata Caraka sembari menaiki kereta.

Entah bercanda atau apa, Nitta tak tahu. Sebab ada nada cemas saat Caraka mengatakan itu. Setelah mereka berada di dalam kereta yang mulai melaju ke arah Jakarta Kota, Nitta buru-buru melepas genggaman Caraka.

"Kamu tiba-tiba menjadi aneh," ujar Nitta sembari menggenggam pegangan kereta.

"Maaf. Aku bukannya berlaku tak sopan, tapi kamu terlalu banyak melamun. Aku tidak ingin kita terpisah, bisa berbahaya," bisik Caraka. Bibir lelaki itu mendekat ke arah telinga Nitta, sembari matanya melirik ke berbagai arah. Otomatis, Nitta menggaruk kupingnya yang entah kenapa tiba-tiba geli.

"Turun di mana?" tanya Nitta lagi.

Caraka tidak membalas langsung ke intinya, malah menyorongkan kepala ke arah peta yang tertempel di atas pintu gerbong.

Nitta tak paham maksudnya. Namun, suara pengumuman dari pelantang di sudut-sudut gerbong membuatnya paham.

"Cikini?" gumam Nitta pada diri sendiri. "Tapi, di CV, kamu bilang alamatmu dekat Kampung Melayu?" selidik Nitta lagi.

"Ayo." Bukannya menjawab dengan jelas, Caraka buru-buru keluar dari gerbong. Di antara banyak orang yang berdesakan secara barbar dan menghalangi mereka keluar, Caraka tentu saja berinisiatif untuk menggenggam lagi tangan Nitta.

Keduanya berjalan menyusuri trotoar menuju Institut Kesenian Jakarta, lalu berbelok ke sebuah jalan satu arah sebelum kampus seni tersebut. Gang ini cukup sepi dengan pepohonan rimbun di kanan dan kiri. Kendaraan yang lewat tak terlalu banyak dan langkah Caraka semakin cepat.

Mereka akhirnya sampai di kompleks indekos tiga lantai yang padat, tapi tampak sepi penghuni. Kendati begitu, beberapa jemuran tampak menggantung di beberapa dinding pembatas setinggi satu meter di hadapan masing-masing pintu milik penghuni.

Caraka berhenti sejenak dan memeriksa penjaga indekos. "Aman. Ayo," ajaknya lagi. Untung saja penjaga berlogat Betawi dan biasa duduk sembari merokok di depan pintu gerbang bersama pedagang bandrek sedang tak ada. Caraka buru-buru menaiki lantai kedua dan menuju kamar paling ujung.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang