14 - Adin is MIA

227 69 12
                                    

Ratusan pesan marah-marah masuk ke ponsel dan laptop Adin. Namun, pria itu tak berani membukanya. Salah satu pesan berasal dari atasannya di Lucene, gadis jutek bernama Nitta. Kendati muncul sedikit rasa penasaran pada pesan-pesan Nitta, Adin tak menggubris. Adin hanya berdiam diri di ruangan gelap penuh poster dan memegangi kepalanya dengan frustasi. Ia meringkuk di pojok kamar.

"Oh, shit. Gue bisa mampus ini. Mampus!" gumam Adin terus-terusan. Dia merasa, laptopnya diawasi seseorang.

Satu-satunya yang bisa Adin lakukan adalah berdiam di kamar. Ia tak keluar kamar beberapa hari. Memang tak pernah ada yang protes, karena Adin selalu membayar uang indekos tepat waktu. Walau Adin tewas di dalamnya pun, mungkin tak akan ada yang mendobrak indekos, kecuali kalau dia menunggak pembayaran.

Adin kebingungan. Ia harus pergi dari kamarnya dan mencari tempat persembunyian lain. Adin bangkit dari keterpurukan. Ia beranjak dari pojok dan menuju lemari kecil susun empat, langsung memasukkan beberapa pakaian juga buku tabungan dan semua kartu debit serta kartu kredit yang ia miliki. Setelah itu, dompet juga ia masukkan. Namun, Adin tak membawa laptop dan ponselnya di meja. Ia malah membongkar sebuah kardus dan mengeluarkan mainan lamanya, sebuah rangkaian elektronik Raspberry Pi.

"Masih bagus," gumamnya cepat. Adin kembali memasukkan benda itu ke kardus dan membawanya serta. Ia meninggalkan indekos dengan cepat.

***

Satu minggu sebelum Adin cuti panjang, lelaki itu mengunjungi sebuah warnet. Ia terlalu takut untuk terkoneksi dengan laptop yang sudah dipakainya untuk menghubungkan USB berisi data dari komputer Anandito. Meskipun USB itu kini aman berada dalam dompetnya, otaknya masih memikirkan sejuta kemungkinan bahwa dia akan tewas seperti sahabatnya beberapa minggu lalu.

Sebelum pergi jauh, Adin berbelok ke warnet tersebut. Penjaga warnet menyapa, "Bang Fikri? Balik lagi?"

Adin mengangguk cepat. "Sewa dong, yang pojok," pinta Adin.

Penjaga warnet mengangguk paham, lalu menyalakan billing warnet. "Udah, Bang. Ngapain sih di pojok terus? Mau nonton bokep ya?" goda penjaga itu.

Adin hanya tersenyum masam dan buru-buru menuju pojok warnet.

Ia tak membuka situs porno seperti yang diduga oleh penjaga warnet, tetapi membuka situs Patroli Siber yang diluncurkan oleh Polri. Tak pikir panjang untuk menutupi alamat IP warnet, Adin langsung masuk situs dengan surel anonimnya, tanpa nama atau identitas yang bisa mengantarkan kepadanya.

Ia langsung mengunggah berkas lain dan mengirim spam ke halaman pelaporan kasus. Kali ini, dia mengetikkan barisan angka nol dan satu cukup banyak. Tak hanya itu, Adin menambahkan gambar sampul novel George Orwell.

Adin terus mengunggah, sampai muncul notifikasi blokir otomatis karena dia telah melakukan spamming. Adin tak peduli dan langsung luring dari situs Patroli Siber. Ia menghentikan billing dan berdiri. Kemudian setengah berlari menyusuri lorong menuju kasir.

"Udah, nih. Berapa?" tanya Adin cepat. Ia menengok ke kanan dan kiri, waspada kalau-kalau ada yang memata-matai dirinya.

Si penjaga warnet kebingungan. Dia melihat layar monitor dan berkata, "Baru dua ribu, sih, Bang. Yakin udahan? Emang bokepnya ke-download?"

Adin menyodorkan selembar sepuluh ribu. "Ambil aja kembaliannya."

Belum sempat penjaga warnet bicara sepatah kata penutup, Adin sudah minggat. Ia menggendong ransel dan memeluk kardus kecil. Adin pergi jauh sementara, pada Rabu pagi yang mendung itu.

***

Sudah sehari berlalu, Nitta masih belum bisa menghubungi Adin Fikri. Caraka hanya memandang atasan barunya dengan bingung, sebab perempuan itu tengah marah-marah sendiri di kubikelnya.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang