2 - Lucene

564 132 11
                                    

Perusahaan kecil bernama Lucene yang didirikan oleh Bambang Santosa—mantan teknisi di perusahaan telekomunikasi Indonesia, terletak di Jalan Matraman Raya. Jangan harap melihat gedung bertingkat dengan banyak kaca, karena kantor Lucene lebih cocok disebut sebagai indekos bebas. Para karyawannya jarang pulang ke rumah dan lebih senang menghabiskan waktu untuk bekerja atau menjelajahi internet, karena koneksi cepat di Lucene yang menyala selama 24 jam.

Fahima Nittari, salah satu karyawan Lucene terlihat berjalan memasuki pekarangan Lucene, langsung menuju pintu depan. Nitta—begitu perempuan ini biasa dipanggil—menggendong ransel yang muat laptop berukuran lima belas inci. Kacamatanya tersampir di kerah jaket bertudung yang ia kenakan, sementara rambut panjangnya yang terikat rapi, sudah tertutupi tudung jaket.

Bambang Santosa, bosnya yang berusia lima puluh tahun, baru kembali dari minimarket yang terpisah beberapa gedung saja dari kantornya. Ia memanggil Nitta saat melihat gadis itu berjalan lambat sambil memasukkan kedua telapak tangan di saku jaket.

"Tumben kamu nggak menginap," ujar Bambang mengagetkan Nitta yang baru saja akan membuka pintu Lucene.

"Yah, ketahuan deh kalau kesiangan datang," canda Nitta.

Bambang hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan karyawan andalannya itu, lalu membalas, "Ini sih sudah sore, bukan siang lagi. Udah jam tiga lho." Nada bicara Bambang ramah dan khas dengan logat Jawanya yang kental.

"Maaf, Bos! Soalnya baru pulang pagi tadi dari Lucene," sahut Nitta lagi sambil membuka tudung jaketnya. Ia lalu tersenyum lebar, meminta keringanan.

"Ya sudah. Segera masuk dan temui Mona di dalam. Sepertinya ada proyek baru yang harus kita kerjakan," lanjut Bambang lagi. Ia lalu mendahului Nitta dan masuk ke Lucene. Sementara itu, Nitta menunggu Bambang menghilang dari hadapannya dan masuk belakangan.

***

Di kubikelnya, Nitta mulai menyalakan laptop. Setelah menghubungkan kabel Unshielded Twisted-pair (UTP), ia membuka jendela aplikasi yang sering digunakannya, terminal.

Mona menghampiri Nitta dan menyangga dagunya dengan tangan bersedekap di pembatas kubikel. "Padahal kamu kan bisa bilang Pak Bambang hari ini nggak perlu masuk. Lagipula urusan kebobolan salah satu perusahaan keuangan kemarin kan harus kamu tangani sampai pagi," ujar Mona ketika ia melihat Nitta sedang beres-beres.

"Yah nggak apa-apa lah. Di kosan juga malas nih, susah koneksi. Akhir-akhir ini jaringan ponselku lagi bermasalah. Daripada tethering kan mending pakai koneksi di sini," balas Nitta.

Mona mengangguk, lalu ia berujar, "Eh, ngomong-ngomong kenapa harus pakai kabel sih? Yang lain aja pakai wifi nggak masalah."

"Lebih suka pakai kabel UTP, bebas gangguan. Laptopku baru hancur karena kemarin compile kernel, jadi driver wifi juga harus compile ulang. Malas beresinnya lagi banyak kerjaan," balas Nitta lagi.

Mona kali ini geleng-geleng kepala. Ia lalu menyahut, "Ah kamu sih, compile daleman sistem operasi kok doyan banget. Susah kok dibuat sendiri. Ya udah, nanti jam empat kalau sudah siap, ikut kumpul di ruang meeting ya, ada proyek baru yang harus kita bahas."

"Proyek sama siapa?"

"Perusahaan aplikasi anti virus gitu. Baru muncul kayaknya deh," tutup Mona sembari berlalu menuju kubikelnya.

***

Nitta bersandar santai untuk membereskan beberapa pekerjaan sambil mendengarkan lagu. Di laptopnya terpampang aplikasi terminal dan Alienvault—aplikasi untuk memonitor anomali server-server milik klien. Nitta beberapa kali mengecek jam dinding yang ada di samping kiri, dekat kubikel Mona.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang