31 - Dua Pengejaran

189 63 8
                                    

Nitta berlari sekencang yang ia bisa. Kondisi perumahan padat dan kumuh Bendungan Hilir pada pagi hari tak terlalu ramai. Namun, jika ia terus berlari mengikuti alur Kali Krukut, dia akan sampai di sebuah persimpangan jalan utama. Di sana, kendaraan padat menuju kantor tentu bisa membuat gadis itu menghilang di kerumunan.

Nitta memang tak menengok ke belakang, tapi ia bisa merasakan pengejarnya semakin dekat. Membawa beban laptop lima belas inci membuatnya kesulitan.

Tak jauh di belakangnya, Tere dan Catur mengejar Nitta. Andar yang katanya punya asma, berlari jauh di belakang.

"Cepat juga dia larinya, Bang!" pekik Tere. Ia berlari dengan lincah. Tujuannya hanya satu, gadis berkuncir kuda yang berada beberapa puluh meter di hadapannya. Tere pun menambah kecepatan.

Catur tak kalah gesit. Meskipun ia lebih sering bekerja di balik meja, ia tetap masih suka berolahraga saat berkuliah di Taiwan. Alasannya tentu agar tetap fit dan bisa berjalan aman tanpa jatuh tersenggol di ritme kota Taiwan yang sibuk. "Terus kejar, Ter!" perintah Catur.

"Dia siapa, Bang?!"

"Tangkap dulu, baru kita tanya kenapa dia lari?"

"Hah? Alasan macam apa ini, Bang?!"

"Udah, jangan banyak ngomong. Kejar!"

Keduanya melesat. Sementara itu, Andar berhenti jauh di belakang mereka. Napasnya terengah-engah. Setelah kedua teman kantornya berada jauh, Andar mengeluarkan ponsel miliknya, sebuah ponsel tua, bukan tipe smartphone. Ponsel yang tak pernah ia keluarkan di kantor.

"Jim? Ubermensch. Chivvy. Danger!" ujar Andar setelah menekan nomor dan tersambung ke layanan pesan suara. Ia pun menekan nomor untuk mengirim pesan suara itu ke layanan mail voice. Setelahnya, Andar menenangkan diri dan kembali melanjutkan pengejaran.

Tak jauh dari lokasi pengejaran, Caraka baru saja sampai. Ponsel yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan kawan-kawan Awanama berbunyi. Sebuah pesan suara di layanan mail voice yang ia langgan, memunculkan nama seorang anggota.

"Kiri?" bisik Caraka. Ia pun menekan tombol untuk menerima pesan.

"Jim? Ubermensch. Chivvy. Danger!"

Pesan itu ia putar berkali-kali dan membuat Caraka baru sadar bahwa ia terlambat mengamankan Nitta lebih dahulu. Caraka bergegas menuju warnet tempat Adin Fikri biasa mangkal dan mengikuti jejak Nitta dari sana. Ia diam-diam sudah memasang pelacak di ransel Nitta saat gadis itu tertidur di kontrakannya malam tadi.

***

"Re, ubah rencana. Kamu kejar dia dari jalan ini, saya akan ke jalan utama. Saya menduga dia mau menghilang di perempatan besar selepas dari area Benhil," perintah Catur lagi saat keduanya berhenti untuk mengatur strategi sejenak.

Nitta tak terpaut jauh. Larinya sudah melambat. Gadis itu sudah mulai kewalahan berlari sembari menggendong laptop beratnya. Nitta juga sesekali mulai menengok. Saat mendapati bahwa pengejarnya hanya perempuan berambut bob kurus dan pucat, Nitta merasa percaya diri.

Gadis itu kembali berlari ke perempatan besar. Lampu lalu lintas yang memang selalu kacau, membuat dia bisa dengan mudah melesat di antara kendaraan. Itu pun kalau ia tak ditubruk motor dari arah berlawanan lebih dulu.

Menjelang perempatan, Nitta beruntung. Lampu merah tengah menyala sehingga ia menyeberang. Sisa sepuluh detik. Gadis itu menghabiskan seluruh tenaga yang ia bisa untuk menyeberang, sementara Tere harus kecewa dan marah karena berakhir di seberang Nitta tanpa bisa menangkapnya, karena lampu merah mulai berubah hijau.

Dari seberang, Nitta menunduk. Setelah mengatur napas, gadis itu sempat-sempatnya menatap Tere dan melambaikan tangan. "Bye, Bu Polwan!" gumamnya. Tere membaca gerak bibir Nitta sembari menahan emosi.

Nitta lantas melanjutkan pelariannya. Tenaganya sudah cukup pulih dan ia pun balik kanan. Baru saja hendak berjalan, ia menabrak sosok tinggi dan kurus. Bahu Nitta ditahan oleh orang itu.

"Mbak Nitta, kenapa harus lari?! Lebih baik ikut saya sekarang, atau saya borgol saja jika berniat lari lagi," sebut Catur setelah melonggarkan pegangannya pada bahu Nitta.

Nitta menghela napas kecewa dan ia menunduk pasrah. "Sial," rutuknya.

Dari arah trotoar yang berlawanan, jauh di belakang Tere, Caraka baru saja sampai. Peluh menetes dari ujung poni panjangnya yang keriting. Saat mendapati Nitta baru saja ditangkap Catur, Caraka merapatkan diri pada tiang lampu yang cukup lebar dan bisa menutupi tubuhnya.

"Ah, aku terlambat!" pekik Caraka dalam hati. Keringat dingin mengucur deras.

Sementara itu, Andar baru saja sampai. Ia berdiri di samping Tere dan menunduk lelah. Napasnya sudah putus-putus. Andar buru-buru mengeluarkan inhaler untuk mengobati asma yang kerap kambuh tiba-tiba.

Tere otomatis memaki-maki kawannya saat ia datang. "Lo dari mana aja, sih? Untung sempat ketangkap Bang Catur. Kalau enggak, makin ribet kita!" seru Tere sembari berkacak pinggang. Kendati lelah, gadis pucat itu masih sempat marah-marah.

"Sa-sabar, Ter. Tenang. Banyak warga sipil," bisik Andar dengan napas putus-putus.

Tere langsung menengok sekitar dan lampu lalu lintas sudah kembali merah. Kendaraan roda dua dan roda empat, menyaksikan pengejaran tadi dengan antusias. Apalagi keduanya memakai seragam Subdit IV.

Ketiganya pun bergegas kembali ke lokasi mereka memarkir mobil. Agak jauh memang, tapi apa boleh buat. Dibandingkan berjalan kaki sampai Polda Metro Jaya, kembali ke warnet untuk mengambil mobil Catur terdengar lebih manusiawi. Lagipula, mereka tidak tengah melakukan penangkapan, hanya ingin bertanya beberapa hal pada Fahima Nittari, atasan Adin Fikri, pengirim laporan Patroli Siber yang selama ini sebenarnya berada di dekat Catur.


***

#nowplaying: The Doors - People are Strange

"People are strange when you're a stranger. Faces look ugly when you're alone. Women seem wicked when you're unwanted. Streets are uneven when you're down."

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang