18 - Enemy in the Front Line

215 70 7
                                    

Di Subdit IV, Catur menghampiri kantor Lutfi Tara untuk meminta izin. Ia menindak lanjuti kebutuhan untuk menemui Bambang Santoso.

Lutfi Tara hanya memberi informasi alamat kantor milik Bambang. "Bambang sekarang mengelola perusahaan konsultasi IT. Alamatnya di Matraman ini. Saya nggak yakin dia ada di kantor, tapi saya sudah hubungi dia untuk membantu kamu dalam laporan spam yang kamu terima itu," jelas Lutfi sembari menyodorkan kartu nama Bambang Santoso.

"Ini buat saya, Pak?" tanya Catur. Ia menerima kartu nama lecek yang sepertinya sudah ada di saku dan tercuci.

"Iya. Maaf, adanya itu. Saya nggak menyimpan kartu nama Bambang. Saya udah punya kontaknya di ponsel, sih. Kartu nama kayak gitu cuma buang-buang kertas aja. Tidak go green," jelas Lutfi dan segala kecintaannya pada bumi secara panjang-lebar.

Catur tersenyum meledek. Memang, sebagai bawahan, dia tak ada takut-takutnya.

Lutfi mengusir anak emasnya. "Udah, jangan ketawa kamu. Sana berangkat. Keburu Bambangnya hilang."

Catur langsung pamit, meninggalkan Lutfi yang juga bersiap-siap untuk pergi ke rapat lain dengan orang-orang dari markas besar.

Di depan kubikel Unit 1, Catur menengok kedua anggota timnya bergantian. "Saya mau tugas keluar. Ada yang mau ikut? Tere, kamu mau ikut?" ajak Catur.

Tere menunjuk wajah pucatnya sendiri dengan telunjuk. "Saya? Sama Bang Catur? Maksudnya... Kita berdua saja, gitu?"

"Ah, kebanyakan mikir kamu, nih. Kalau nggak mau ikut, saya ajak Andar saja deh," ulang Catur.

Namun, kepala Andar malah nyaris menghantam meja kerja. Ia mengantuk sekali, bahkan tak mendengar ajakan Catur.

Catur urung mengajak keduanya. "Ndar, kalau mengantuk lebih baik kamu istirahat dulu, deh. Nanti saya coba cari informasi latitude sendiri. Tere, kamu juga kalau nggak mau ikut, nggak apa-apa. Cukup kumpulkan laporan penunjang dan informasi tambahan terkait Happy Tree Friends kesayangan kamu itu," perintah Catur.

"Eh... I-iya, Bang!" Andar menjawab gugup.

Catur pamit meninggalkan mereka dan memberi tahu kedua anggota timnya untuk menelepon langsung saja, jika ada yang mencari dirinya. Ia bergegas menuju parkiran dan bertolak dari Polda Metro Jaya, menyusuri Jalan Sudirman, memasuki area Dukuh Atas dan menyusuri Halimun, Manggarai, sampai ke arah Matraman.

Pagi itu, jalanan cukup macet karena pengalihan jalan untuk penggalian kabel fiber optik. Terpaksa Catur harus menghabiskan setengah hari hanya untuk menuju Matraman.

***

Selepas jam makan siang, Catur baru sampai di Lucene. Dia menunggu di luar kantor setelah memarkir mobil dan berusaha menghubungi nomor Pak Bambang. Namun, teleponnya tak juga tersambung, hanya dibalas oleh suara operator perempuan yang ramah dan protokoler.

Catur malas menghubungi resepsionis di lobi kantor Lucene yang lebih seperti penjaga gerai pulsa dan ponsel. Namun, dia tak boleh jumawa hanya karena dia aparat dan bebas memasuki kantor orang tanpa mengisi buku tamu.

"Pak Bambang sedang ada rapat dengan tim pentesting. Bapak bisa menunggu dulu, nanti saya panggilkan," balas Isan ramah setelah mengisi buku tamu.

"Kira-kira jam berapa, ya?" Catur tak sabar. Dia juga ingin bicara banyak hal, selain karena merindukan guru besar yang mengajarinya dunia teknologi.

"Sebentar lagi, kok, Pak," jawab Isan. Pria kurus yang memakai setelan safari biru tua itu mengambil buku tamu dan mencatat ke agenda Bambang, lebih tepatnya menyelipkan jadwal singkat ke agenda Bambang yang hari itu agak penuh. Isan mengernyit dan menyodorkan buku tamu pada Catur. "Pak. Ini nama lembaganya belum diisi."

Cipher | ✔Where stories live. Discover now