17 - Unnamed Corpse

207 62 10
                                    

"Waduh, parah banget nih isi grup teman-teman kampus aku," ujar Mona saat dia baru saja memasuki kantor pada Senin pagi yang mendung.

Nitta malah belum pulang kantor. Rambutnya tergelung dan dia mengalungkan handuk. Saat melihat kondisi temannya, Mona langsung menegur, "Kamu menginap di kantor lagi?"

"Ya gimana, dong? Kemarin hujan deras, terus aku nggak ada payung. Mau jalan ke kosanku, tapi malas nanti laptop basah semua. Jadi, ya sudah, deh. Aku menginap lagi," jelas Nitta.

Mona hanya mendesah pasrah. Ia langsung menuju kubikel dan meninggalkan Nitta yang hendak rapi-rapi dahulu. Sembari memakai kemeja wangi yang sudah dititipkan ke laundry sebelumnya, Nitta mengobrol dengan Mona. "Memang ada apa? Kata kamu udah nggak pernah ngobrol di grup kampus lagi?"

"Iya, memang selalu sepi. Tapi, beberapa temanku yang kerja jadi wartawan koran atau majalah, kemarin menyampaikan berita yang sama. Ya, mereka sekalian bagi-bagi informasi gitu kali, ya?" balas Mona. Gadis itu membuka cermin ukuran saku dan memeriksa riasannya. Dia memang bukan lulusan IT karena berkuliah di Program Studi Komunikasi dan Studi Media. Makanya, teman Nitta satu itu memiliki beberapa kenalan wartawan.

"Berita apa memangnya?" tanya Nitta datar, tak penasaran sama sekali.

"Penemuan mayat. Di pinggir gedung sengketa gitu dan baru ketahuan seminggu pas kecium bau busuk. Parah nggak, sih? Segitunya ya warga Jakarta, sampai nggak tahu kalau ada mayat di gedung sengketa." Mona mengiba.

Nitta masih datar saja menanggapi. "Namanya juga gedung sengketa, Mon? Paling-paling cuma keributan preman sekitar aja."

"Iya, sih. Kasihan juga tapi, kan? Dia masih disebut NN sama teman-temanku yang wartawan itu, soalnya identitasnya belum diketahui," tutup Mona kemudian. "Udah, ah. Aku mau siap-siap rapat dulu ke klien. Nanti kalau balik cepat, makan siang bareng ya, Nit!"

"Siap, Bu Bos!"

Mona selesai berdandan. Ia keluar lagi dari kantor setelah taksinya datang. Pagi itu, dia datang ke Lucene hanya untuk menumpang absensi saja.

***

Sementara di rukonya, Feisty baru terbangun saat ponsel berdering. Karena Feisty tak mengangkatnya, masuk beberapa pesan suara. Pria bersuara berat dan terdengar ramah jika didengar dari pelantang ponsel, memaki-maki dirinya.

"Kemungkinan target kita kembali ke lokasi. Cari dia. SE-KA-RANG!"

"Apaan, sih? Dasar bossy." Feisty menggerutu kala mendengar penekanan di akhir pesan suara itu. Dilemparnya ponsel dan disambarnya handuk. Feisty mandi dengan kilat.

Seperti yang dikatakan teman satu grupnya dari pesan suara—Feisty memang tak ingin menganggap dia bos, karena mereka bekerja sama-sama—hari ini Feisty hendak mengintai di sekitar Jalan Kompleks AURI. Ada beberapa warung makan di sana, sehingga pasti kondisi akan ramai oleh wartawan. Feisty harus memastikan ada atau tidaknya saksi.

Menjelang pukul sepuluh pagi, Feisty meninggalkan rukonya dan menuju tempat menunggu metromini. Satu jam kemudian, gadis bertubuh kecil dengan tinggi hanya seratus lima puluh tujuh sentimeter itu duduk di salah satu warung makan tepi Jalan Kompleks AURI.

Di kanan dan kiri jalan sudah padat oleh motor yang parkir sembarangan. Jalan tersebut menjelma jadi ladang uang dadakan bagi tukang parkir harian. Beberapa dari mereka tampak memakai kalung pers, ada pula yang membawa kamera canggih. Ada juga reporter media televisi yang rapi berdandan, tapi terpaksa jalan kaki karena mobil stasiun televisi tak muat memasuki jalan itu.

Tiga orang wartawan memasuki warung makan tempat Feisty berada. Salah satu dari mereka yang berambut kribo, bertanya pada temannya, "Nggak dapat apa-apa, nih, gue. Lo gimana?"

"Nihil. Gue juga keliling daerah sekitar, tapi sepanjang jalan depan gedung TKP sama sekali nggak ada tempat tinggal," timpal yang berambut cepak.

Wartawan ketiga ikut nimbrung, "Polisi juga nggak mau ngomong. Habis ini kayaknya gue mau cabut ke Polda aja. Cari informasi di sana. Kalau ke sini hasilnya cuma dapat identitas NN, John Doe, atau lainnya, sih, gampang banget. Pakai penerawangan dukun juga bisa. Tapi kita kan butuh informasi lebih."

Kemudian, si Kribo kembali bicara. "Ngaco aja lo. Jangan-jangan selama ini, berita yang lo tulis tuh berdasarkan informasi dukun ya?"

"Sialan lo!" Wartawan ketiga menonjok si Kribo dan tertawa.

"Eh, tunggu. Tadi pas gue datang pertama, ada orang pakai kacamata gitu, mendatangi petugas yang mengamankan TKP. Rambutnya kayak potongan mangkuk. Kebayang kan, rambut kayak gitu? Dia katanya mau lihat korban. Karena orangnya agak-agak aneh, gue jadi ingat karakteristik dia," jelas si Kribo tiba-tiba mengingat sesuatu.

"Hah? Ngapain? Jangan-jangan, dia pelaku?" sahut si Cepak kilat. Ia baru saja hendak mengeluarkan buku catatan dan menulis berita spekulatif.

"Mana ada, sih, pelaku balik lagi?" timpal si Kribo lagi. Keduanya hendak berdebat saat semangkuk soto betawi terhidang.

Si Cepak masih bertahan dengan opini simpang-siur yang ia gagas di kepalanya sendiri. "Ya, ada dong. Contohnya, di beberapa kasus kebakaran, biasanya pelaku yang punya kecenderungan narsistik, selalu kembali ke TKP. Dia mau melihat mahakarya."

"Menurut gue, sih, ini bukan kasus kayak gitu. Melihat kondisi pembuangan mayat, tampaknya korban digiring aja ke lokasi. Mana ada coba orang yang nggak jelas datang-datang ke gedung tutup begini? Kalau bukan digiring, dia dihubungi orang, atau dia dipanggil pelaku, atau bisa juga memang dia dan pelaku sering menongkrong di lokasi. Betul tidak logika gue?" Si Kribo melakukan deduksinya.

Wartawan ketiga lebih banyak diam. Dia hanya menghela napas. Perutnya keroncongan. "Udah, lah. Mending makan dulu terus cabut. Gue nggak bawa motor, nih. Nebeng ya!" balas wartawan ketiga yang tidak cepak, pun kribo.

Feisty menguping pembicaraan itu dalam diam, sama sekali tak menyentuh soto betawinya. Karena ketiga wartawan tak kunjung bicara lagi, Feisty bangkit dan menuju penjual soto. "Berapa sotonya, Bang?" tanya Feisty keras, menarik perhatian ketiga wartawan.

Tukang soto mengintip ke arah meja yang Feisty tempati tadi. "Nggak dihabiskan sotonya, Neng? Sayang amat?" tanya pedagang.

Feisty menggeleng cepat dan jutek. Pedagang soto akhirnya buka mulut, "Soto sama nasi, jadi dua puluh ribu."

Feisty mengeluarkan selembar uang warna hijau dan bergegas pergi setelah pembayaran terkonfirmasi.

Sementara itu, si Kribo berbisik, "Eh, gue nggak nyangka ada cewek dari tadi. Ah, kalian, sih! Menghilangkan kesempatan ngobrol gara-gara ngomongin kasus."

Si Cepak mengangguk setuju. "Iya. Cakep gitu lagi. Jangan-jangan dia nggak nyaman dengerin kita?"

"Udah, deh. Jangan hilang fokus. Buruan makan, terus kita ke Polda," tutup wartawan ketiga yang sudah masa bodoh dengan kelakuan dua temannya.


***

#nowplaying: Damon Albarn - The History of a Cheating Heart

"More than you know, more than you know. When the river shallows, I always go back to the moment."

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang