28 - Rendezvous

220 64 1
                                    

Wibi dan Catur duduk berhadap-hadapan di ruang rapat. Setelah Mona selesai menggunakan ruangan, Nitta buru-buru mengusir kedua tamunya dari kubikel dan meminta mereka untuk menunggu di ruang rapat. Karena Nitta tak kunjung datang, ruang rapat yang dingin dan bercat abu-abu itu tampak bagi penjara bagi kedua kawan lama yang telah hilang kontak.

Di tengah deru pendingin dan kersik plastik pengharum ruangan, Catur berdeham pelan. Wibi melirik perwira itu dari balik kacamatanya yang berbingkai tipis. Mata lelaki necis itu lancip di ujung. Tahi lalat tampak menghiasi sudutnya.

"Sepertinya kau sudah sukses," gumam Catur membuka obrolan.

"Kau juga begitu. Sudah AKP pula," balas Wibi. Ada nada sinis dari kalimat ringkasnya.

Catur hanya tersenyum dan tak merasa tersinggung. Ia lantas bicara lagi, "Kudengar, kau memimpin divisi riset dan teknologi? Keren juga. Mungkin aku akan berpikir untuk bergabung dengan perusahaanmu kalau jadi warga sipil."

"Kami tidak menerima mantan aparat," tukas Wibi. Pria necis itu mulai membuka laptop. Ia mengecek arloji mahalnya dan mencebik pelan. Mengapa Nitta lama sekali?

Catur tentu saja terbahak. "Kau serius? Bukannya kau juga aparat dulunya?"

"Aku hanya orang yang mencoreng muka lembaga besar negara ini. Apa masih bisa kau sebut aparat?"

Catur terdiam lagi. Memang tidak etis jika mengorek masa lalu, apalagi jika baru bertemu dengan orang tersebut setelah lama.

"Kau ada perlu apa ke Lucene?" tanya Catur mengalihkan perihal Wibi yang tersandung kasus peretasan jaringan internal Polri.

Namun, Wibi tak lantas menjawab. Ia malah menyeringai pelan. "Kalau begitu, aku pun bisa bertanya hal serupa. Kau sendiri sedang apa di sini? Di kantor kecil seperti ini?" selidik Wibi sembari membetulkan letak bingkai kacamata di atas tulang hidungnya yang mancung.

"Urusan negara. Jadi, tidak bisa kuberitahu padamu," tutup Catur. Ia baru saja akan membuka buku catatan penyelidikan kasus, tapi urung dilakukan.

Di luar ruangan rapat yang kedap suara, tampak Nitta tengah mengobrol dengan Mona. Sesekali gadis itu merengut. Wajahnya menyiratkan amarah. Kedua lelaki yang menghuni ruang rapat, menonton kejadian itu seperti tengah menonton pertengkaran kekasih di tempat publik. Setelah beberapa saat, Nitta akhirnya melengos pergi dari hadapan Mona dan melangkah ke arah ruang rapat.

"Maaf menunggu lama. Jadi, apa yang bisa saya bantu?" ungkap Nitta segera setelah membuka pintu ruang rapat. Napas Nitta masih memburu, pandangannya masih garang. Namun, saat ia melangkah masuk, gadis itu mencoba bersikap biasa. Nitta duduk di salah satu kursi ruang rapat, membelakangi layar teve ukuran besar yang biasa dipakai presentasi.

"Saya sebenarnya hanya mampir," balas Wibi cepat. Ia mengecek arloji lagi. "Saya ada pertanyaan terkait pentest kemarin, tapi karena Mbak Nitta ada tamu lain, sepertinya saya pamit duluan," tambah Wibi. Ia tersenyum manis lagi. Nitta membalas dengan anggukan sopan, tanpa senyum.

"Kenapa terburu-buru? Kau kan bisa membereskan urusanmu dulu. Aku bisa menunggu," kata Catur.

"Tidak perlu. Sepertinya urusanmu lebih mendesak. Ya sudah, aku pamit dulu," tutup Wibi seraya berdiri. Catur dan Nitta ikutan berdiri. Sementara Nitta mengantar Wibi sampai lobi kantor, Catur masih terdiam di ruang rapat dan mulai membuka buku catatan penyelidikan.

Beberapa menit kemudian, Nitta kembali ke ruang rapat. Ia menengok ke belakang sebelum membuka pintu.

Gadis itu langsung mengempaskan punggungnya ke kursi. Catur yang penasaran, buru-buru membuka obrolan, "Mbak Nitta sudah kerja dengan Wibi cukup lama?"

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang