3 - Cryptonym: jimmo

475 135 7
                                    

Keesokan paginya, Nitta, Dodi, dan Mona sudah berada di ruang tunggu MLI, divisi penelitian dan pengembangan teknologi. Papan nama metalik bertuliskan "MLI Tech" berada di belakang resepsionis yang melayani mereka bertiga. Ruang tunggu tamu MLI Tech cukup besar. Tempat Nitta dan kawan-kawannya duduk adalah sofa empuk kelas tinggi. Ada televisi layar datar yang lebarnya hampir selebar ruangan indekos Nitta. Dodi dan Mona beberapa kali menyisir pandangan ke seluruh ruangan, sementara itu Nitta tetap sibuk mengetik di laptop. Ia membuka halaman terminal dan jendela koneksi VPN (Virtual Private Network) menuju koneksi kantor Lucene.

"Lama banget, Cuy!" bisik Mona pada Nitta dan Dodi. Nitta tak menanggapi apa-apa, hanya melirik Mona. Sementara itu, Dodi menyuruh Mona diam sebab resepsionis di lantai 22 gedung itu melirik ketus padanya.

"Daripada bisik-bisik, mending kamu tanya sana," sahut Nitta pelan. Mata gadis itu masih menatap ke layar laptop saat berkata.

Mona mendengus pelan dan akhirnya berdiri dengan malas. Gadis yang tingginya hanya sebahu Nitta itu berjalan ke arah meja resepsionis MLI Tech.

"Maaf, Mbak. Pak Wibi masih lama ya?" tanya Mona pada resepsionis yang kadar kecantikan dan proporsi tubuhnya lebih cocok untuk jadi Puteri Indonesia daripada resepsionis.

Resepsionis itu tersenyum lalu melirik ke jam dinding yang ada di samping kanan seraya berkata, "Maaf, Bu. Ibu Mona bisa menunggu sebentar lagi, sebab Pak Wibi masih ada meeting dengan beberapa orang dari kantor cabang di Singapura."

Mona mengangguk walau kecewa. Dengan terpaksa ia menuju sofa lagi. Karena tak ada yang bisa ia kerjakan, gadis berambut pendek dan berlesung pipit itu akhirnya melihat-lihat aplikasi berbagi foto di ponselnya. Kini, ia larut dalam kenikmatan bersosial media.

***

Selang dua puluh menit kemudian, resepsionis tadi mengangkat telepon. Setelah itu, ia memanggil Mona, "Ibu Mona. Pak Wibi sudah bisa ditemui. Mari, saya antar Ibu dan tim Ibu ke ruangan."

"Oke, Mbak. Terima kasih," balas Mona sambil berdiri dan menggapai tas laptop di sofa samping kanannya. Sedangkan Nitta menekan tombol untuk mengubah laptop dalam kondisi hibernate, lalu memasukkan laptop ke ransel sebelum ia berdiri. Sementara itu, Dodi yang tadi sedang membaca koran, mengembalikan koran ke posisinya semula. Setelahnya, ia mengekor Mona dan Nitta menuju ruangan rapat.

Suara hak sepatu milik sang resepsionis tinggi semampai itu terdengar menggema di lorong keramik berwarna putih gading. Di kanan dan kiri lorong, terdapat banyak bingkai foto berisi sertifikat atau penghargaan yang telah dicapai MLI Tech. Setelah dua puluh tahun berjalan sebagai bisnis penyedia perangkat keras, MLI Tech mulai bergerak ke bisnis sistem ERP dan pengembangan aplikasi. MLI Tech ingin menjadi perusahaan teknologi Indonesia raksasa pertama, di tengah banyaknya perusahaan teknologi asing yang bercokol di Indonesia. Bagi Lucene, kesempatan bekerjasama dengan perusahaan besar tak boleh terlewatkan.

"Silakan. Ruangan rapat sudah kami siapkan di Borobudur 3," ujar resepsionis itu lagi. Mona mengangguk dan tersenyum ramah. Ia kini berjalan menuju ruangan yang dimaksud. Nitta dan Dodi mengekor Mona. Resepsionis yang mengantar mereka, kini kembali ke meja depan untuk kembali menyapa tamu.

Memasuki ruang Borobudur 3, Mona duduk di kursi yang lebih dekat dengan televisi layar datar dan juga whiteboard. Karena Mona adalah manajer proyek di Lucene, maka ia sudah pasti akan duduk di paling depan. Hal itu agar memudahkan dirinya saat harus presentasi atau menggambar suatu diagram alir dan lini masa proyek di papan tulis.

"Masih nunggu lagi nih?" tanya Nitta segera setelah ia merapikan laptop di meja rapat.

"Kayaknya iya deh. Soalnya kan tadi resepsionisnya bilang kalau Pak Wibi masih ada meeting lain," balas Mona.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang