34 - 1984

190 72 1
                                    

"Bagaimana persiapan untuk peluncuran 1984 di beberapa platform pemerintahan?" tanya seorang pria berusia 68 tahun pada Wibi.

Ruangan pertemuan mereka seperti biasa tidak Wibi ketahui. Bahkan Wibi tak bisa menembusnya secara daring. Setiap hendak bertemu kelompok yang Wibi kenali sebagai Big Brother, Wibi selalu diminta meninggalkan mobilnya di parkiran Blok M. Dari sana, Wibi berjalan kaki ke tempat keluarnya bus dari terminal dan dijemput oleh mobil berkaca gelap. Pengemudi serta dua orang penjaga memakai topeng wajah, sehingga Wibi juga tidak mengenalinya. Yang pasti, setiap Wibi hendak masuk mobil, selalu ada pointer sniper yang membuat baterai kehidupannya berkurang satu persen setiap harinya. Wibi sendiri berpikir, dalam seratus hari ke depan, dia mungkin bisa tewas jika kesepakatan ini terlalu lama diulur-ulur.

Dualisme identitas Wibi membuatnya tidak bisa bergerak leluasa seperti dulu. Setelah bernegosiasi dengan iblis negara, Wibi mau tak mau harus mengerjakannya sampai selesai. Dia tak tahu takdir seperti apa di masa depan, jika menolak kerja sama dengan deep state actor.

"Apa kelompok Bapak sudah pastikan aman? Pemilu 2019 tinggal menunggu waktu, Bapak sekalian harus sudah mulai memantau opini publik sejak saat ini. Namun, jika platform yang akan terpasang program kami belum siap, tentu saja kami juga tidak siap," balas Wibi dalam kapasitas sebagai Bos bagi Feisty dan Klaus.

Pria lain yang lebih tua dan gempal, mengisap cerutu dengan khidmat. "Timnya Pak Budiman sudah aman, kamu nggak usah khawatir. Prototipe programnya yang penting sudah full feature seperti yang dijanjikan, tho?" tanya pria itu menjebak.

Wibi tak berani mengatakan kalau setengah program utama masih berlarian dibawa kabur pencuri sialan. Namun, karena timnya sudah mengerjakan rencana cadangan dengan membuat program yang tidak begitu kuat, tetapi memiliki fungsi serupa, Wibi masih bisa membeli waktu. Tentu saja dia berharap agar Feisty segera menangkap pencuri berkas penting itu.

Salah seorang pria tua terbatuk kecil. Lamunan Wibi pun buyar. "Program sudah full feature. Pengumpulan data biometrik, alamat terkini (baik sesuai KTP pun non KTP), pemantauan nomor ponsel, pemantauan via kamera ponsel dan eavesdropper," jelas Wibi sembari menunjuk berkas yang ia sajikan di hadapan lima deep state actor yang memiliki nama hanya satu suku kata.

Budiman.

Saman.

Holis.

Adiba.

Linggar.

Wibi sendiri tak mengenali mereka karena tak pernah tampil di televisi. Namun, nama terakhir mengingatkannya pada kawan lama. Catur Pandita. Hanya saja, seingat Wibi, ayah Catur tak memiliki nama Linggar. Lagipula, ayah Catur adalah Kapolda pada periode presiden ke-4, sehingga wajahnya sering tampil di muka umum dan media. Tidak mungkin ia menjadi seorang deep state actor.

"Apa mungkin saudaranya? Ah, berpikir apa aku ini," bisik Wibi sembari terus menjelaskan.

Pak Linggar memeriksa berkas dan menutupnya pelan. Ia menyodorkan kotak besar hitam ke meja dan mendorongnya ke arah Wibi. "D-Day hari Senin kan kau bilang? Jika ada bug dan membuat program ini diketahui khalayak sampai mengacaukan rencana kita untuk pemilu 2019, sebaiknya kau cepat-cepat menggunakan isi kotak ini."

Jantung Wibi mencelus saat membuka isi kotak. Sebuah senjata api lengkap dengan butir pelurunya, tampak mengilat dan terawat. Fakta bahwa Wibi sudah dipaksa memusnahkan dirinya sendiri bahkan sebelum peluncuran program pemantauan dimulai, membuat pria necis itu hilang nyali.

***

Keesokan harinya, di Polda Metro Jaya, Catur Pandita sudah sampai pagi sekali. Ia berkeliling di sekitar meja Unit 2 dan 3. Para pemiliknya belum datang. Di meja Wicak, tampak foto ketika kolega kerjanya itu masih muda. Ia merangkul orang yang lebih gempal darinya. Keduanya memakai jubah paduan suara gereja yang sama.

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang