6 - Catur Pandita

329 95 2
                                    

Pagi hari pukul 7.30 waktu Taipei, Catur Pandita sudah duduk khidmat di kedai kopi Bandar Udara Internasional Taoyuan. Ia harus menyelesaikan semua pekerjaan dari kampus National Taiwan University of Science and Technology (NTUST) sebelum hanya duduk di pesawat selama lima jam. Ia akan kembali ke Indonesia, mengambil cuti dari kegiatan kampusnya. Hal itu membuatnya resah, sebab ia masih belum ingin kembali dari cuti panjangnya di kepolisian.

Sambil menunggu boarding, Catur Pandita hanya bisa memandangi orang lalu-lalang di ruang tunggu bandara internasional yang bernuansa futuristik itu. Berkali-kali Catur memeriksa arloji dan waktu seperti belum berubah signifikan.

Dalam penantiannya, seorang pramusaji menghampiri dan menaruh kopinya yang kedua di meja. "Here's your coffee, Sir. One flat white without sugar," ujar pramusaji mengusik Catur.

Lelaki beralis tebal itu pun mengangguk dan tersenyum lalu menjawab, "Thanks."

Setelah pramusaji berlalu, Catur kembali memandangi ruang tunggu, mendesah pelan dan akhirnya melanjutkan pekerjaan. Rasanya, ia masih ingin berlama-lama di Taiwan. Ia berharap pesawatnya delay lama, sehingga akan menunda kepulangannya ke Tanah Air.

Sekitar satu jam kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nomor Indonesia yang mungkin di sana pun baru menginjak pukul 7.30 pagi, sebab waktu kedua negara itu tak jauh berbeda. Catur melirik pada ponsel dan segera mengangkatnya ketika ia tahu siapa yang menelepon.

"Halo, Pak. Ada apa? Sebentar lagi saya boarding," kata Catur.

Lutfi Tara di ujung telepon terdengar sedang mengobrol dengan seseorang, lalu ia pun menjawab, "Oh begitu. Aku cuma mau tanya, kau naik apa? Transit dulu tidak? Sampainya jam berapa?"

"Tidak transit, Pak. Saya naik EVA Air, penerbangan langsung tanpa transit di Hongkong. Kira-kira lima jam lewat sedikit baru akan sampai Jakarta," tambah Catur.

Meski tidak terdengar, tapi Catur yakin bahwa mantan pimpinan ketika Catur masih berpangkat bintara ini, tengah mengangguk-angguk seperti kebiasaannya. Setelah sedikit berdeham, Lutfi Tara pun kembali berkata, "Apakah kau bisa langsung ke kantor sesampai di Indonesia?"

"Memang ada yang mendesak, Pak?"

"Tidak sih. Tapi mabes memutuskan untuk memulai program Patroli Siber dan Polda Metro Jaya menjadi salah satu markas daerah yang menjadi percontohan. Untuk hal ini, aku ingin kau mengisi wawancara radio bersama TeknoFM nanti," tambah Lutfi Tara lagi.

Catur hanya tertawa kecil. "Yang benar saja, Pak. Sampai Jakarta mungkin siang hari. Ditambah kemacetan yang tiada habisnya, tidak mungkin saya bisa menuju TeknoFM secepat kilat, kecuali saya naik awan kinton. Eh, Pak. Maaf sebentar lagi saya sambung. Saya harus segera boarding. Telepon akan saya matikan. Saya hubungi kembali kalau sudah sampai," tutup Catur setelah mendapati nomor penerbangannya dibunyikan dari gerbang keberangkatan internasional.

Setelah berpamitan, telepon disudahi. Catur bergegas mematikan laptop, mengaktifkan mode pesawat pada ponsel, dan segera membereskan barang-barangnya. Ia pun melenggang mulus keluar dari kedai kopi itu.

Walau ia tak suka kembali ke Indonesia, rasanya tetap saja ada sesuatu yang masih memanggilnya kembali hingga hari ini. Ia merasa, hari ini pencariannya akan dimulai kembali.

***

Di hari yang sama sebelum berita Patroli Siber diumumkan, Nitta masih mengetik sesuatu dalam halaman pesan Awanama. Kala itu, anonim dengan kode nama akuinikiri mulai masuk ke sistem pesan. Nitta mengenal kode nama itu dengan panggilan Kiri. Walau ia tak tahu siapa sebenarnya nama si pemilik akun Awanama itu, tapi Nitta cukup dekat dengan Kiri. Ia pun mengirim pesan privat.


ubermensch: kir, gimana d-day?

akuinikiri: cuma blaze test dulu, tembus firewall aja beloman.

ubermensch: oh, gitu

akuinikiri: kenapa? tumben elu antusias

ubermensch: mau cek aja gimana gerakan, soalnya mau ada patroli siber

akuinikiri: gerakan aman-aman aja, masih terus gerilya. elu mau join lagi? sekarang semua dipegang jimmo

ubermensch: dia baru juga ya? langsung nge-lead?

akuinikiri: dia anak lama, tapi pakai ID klon. gue lupa ID lamanya apa. intinya, dia anak gerakan lama.

ubermensch: gue udah join?

akuinikiri: gue rasa belum. elu join, dia kabur. elu kerja bersih, dia join lagi. gitulah hidup.

ubermensch: sori, afk. gue mau kerja dulu, yang kata lo KERJA BERSIH.

akuinikiri: santai dong, gue becanda

ubermensch: nanti kita bahas lagi, habis berita soal patroli siber keluar. bye.


ubermensch has signed off from awanama.


"Siapa ya anak lama yang dimaksud? Nggak pernah dengar kode nama itu," gumam Nitta sembari mengetuk jari-jarinya ke permukaan laptop. Tepat saat dia hendak membuka kembali halaman situs Awanama, Mona dan Dodi mengejutkannya.

"Woi! Ngelamun aja!" seru Mona dari hadapan Nitta dan menyangga dagunya di kubikel.

Nitta buru-buru menutup dan menekan tombol pintas untuk membersihkan sisa penjelajahan. Matanya melotot dan dia tersenyum lebar. Kacamata yang ia kenakan, agak mengamplifikasi bulat matanya

"Kamu kerja mulu jadi gila ya, Nit?" tambah Mona, kemudian beranjak, "Ayo, makan siang!"

"Gue banyak kerjaan nih. Mau cek Alienvault PT Deka Chemical, banyak alert merah. Masalahnya, server yang alert nih isinya data-data riset obat. Mampus aja kalau bobol. Mau gue tutup dulu beberapa port yang berpotensi dibobol dan bersih-bersih," balas Nitta beralasan. Dia hanya sedang ada agenda tambahan, jadi tak bisa makan dengan yang lain.

Mona hanya bisa menghela napas pasrah. "Nggak sekalian lo mandiin kembang aja server punya Deka? Masalah terus," candanya.

Dodi yang ada di sampingnya hanya tertawa. "Emang perdukunan apa? Ngaco aja lo."

"Ya udah deh! Biar nggak lama, gue beliin aja. Mau titip apa lo?" lanjut Mona cepat. Ia mengecek arloji terus. Mungkin hari ini ada jadwal meeting dengan klien lain, sehingga ia harus makan cepat dengan kilat.

"Gue titip Sederhana dong, nasi padang tuh yang depan Gramedia Matraman," balas Nitta sembari nyengir. Ia tak merasa berdosa walau telah menyuruh teman baiknya membeli makanan yang lokasinya cukup jauh.

Mona menggerutu. Ia kembali mengecek arloji. "Lo tuh suka ngide banget. Ke sana kan lumayan capek juga kalau jalan kaki."

"Ya elah, timbang jalan dua kilometer sih nggak jauh, Mon," rengek Nitta lagi.

Akhirnya Mona setuju, dengan catatan, Dodi juga harus ikutan jalan. Mona sebenarnya malas kalau beli makan sendirian sejauh itu. Banyak tukang ojek yang sering menggodanya dan membuat dia tiba-tiba ingin melenyapkan mereka. Mona memang tak suka kalau ada yang catcalling pada dirinya setiap hari.

Mona akhirnya pergi bersama Dodi. Sementara itu, Nitta membawa laptopnya dan menaiki lantai dua kantor Lucene. Dia menuju pojok merokok yang biasa digunakan para karyawan. Pada jam makan siang, pojok merokok itu cukup sepi karena para karyawan masih pergi makan.

Nitta mengambil posisi di dekat tangki air Lucene, merapat ke dinding dekat pintu turun tangga. Ia bersandar dan kembali menelusuri halaman Awanama, setelah memastikan tak ada rekan kerjanya yang berkeliaran di rooftop pojok merokok itu.


***

#nowplaying: Radiohead - Daydreaming

"Dreamers, they never learn beyond the point of no return..."

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang