65- Kepergian

91 16 0
                                    

Tak mendapatkan petunjuk apapun, itulah yang Gamal dapatkan setelah ia mendatangi rumah Dara.

Gamal semakin dibuat kebingungan sekarang. Ini benar-benar membuat pikiran Gamal bercampur, ia tak tahu apa yang akan ia lakukan kedepannya.

Gamal memasuki kamarnya. Baru ia menutup pintu kamarnya dengan pelan, Gamal menemukan sesuatu yang tergeletak diatas tempat tidurnya.

Gamal berjalan mendekati, cowok itu duduk tepat disamping tiga paper bag yang ada diatas tempat tidur.

Dengan penuh tanya cowok itu membuka satu persatu paper bag, melihat isinya.

Gamal dibuat kebingungan dengan isi di dalam paper bag itu, rupanya ada berbagai seragam yang ada di dalam paper bag itu.

Kemudian Gamal meraih paper bag yang lain, membuka isinya. Gamal kemudian menemukan seragam batik, namun seragam itu nampak asing bagi Gamal, rupanya seragam itu berbeda dengan seragam sekolahnya, dari mulai corak hingga warna semuanya beda.

Lalu Gamal diam kebingungan, dari mana datangnya seragam-seragam ini? Kenapa semuanya ada di kamarnya?

Gamal memutar otak, apa yang terjadi, ia berusaha menduga-duga.

Tiba-tiba pikiran Gamal tertuju pada satu hal, ia langsung mengingat satu nama.

Gamal langsung memasukan kembali seragam-seragam itu ke dalam paper bag kemudian ia membawa ketiga paper bag itu keluar kamar.

-oOo-

Ketiga paper bag itu Gamal letakan diatas meja kerja Dii, tepat dihadapan sang Ayah. Dio yang tengah fokus menatap laptop pun mengalihkan pandangannya, ia menutup layar laptopnya lalu menatap Gamal.

Tatapan Gamal sudah memburu, cowok itu penuh emosi.

"Kenapa?"tanya Dio santai.

"Apa maksud ayah?"tanya Gamal meminta kejelasan.

"Ya ini, seragam sekolah baru kamu. Lupa kalau kamu--"

"Kan Gamal udah bilang. Gamal gak akan pindah sekolah!"potong Gamal cepat.

Dio terdiam, pria itu menanggapi Gamal dengan santai, bahkan sangat santai meski nada bicara anaknya tak begitu terdengar santai.

Gamal membuang tatapannya kemudian menatap Dio lebih lekat. "Perjanjiannya apa? Kalau Gamal gak gunain semua apa yang ayah kasih, Gamal gak akan pindah sekolah kan?"

Dios mengangkat bahunya. "Ayah gak pernah buat perjanjian seperti itu."

"Pokonya Gamal gak akan pindah sekolah,"setelah mengatakan hal itu, Gamal langsung berbalik badan dan berusaha pergi.

Melihat anaknya yang keras kepala itu, membuat kesabaran Dio hampir habis. Dio bangkit dari kursinya kemudian cepat-cepat mengejar sang putra. Hal itu berhasil, ia dapat meraih tangan anaknya.

Tentu saja tangan Dio Gamal tepis, kemudian keduanya saling berhadapan.

"Bisa gak sih kamu dengerin Ayah sekali aja? Turutin apa yang ayah mau?"

"Untuk apa Gamal turutin perkataan ayah? Sedangkan ayah sendiri gak pernah dengerin apa yang Gamal mau, gak pernah dukung apa yang Gamal pilih."

"Harus berapa kali sih ayah bilang? Ayah cuma mau kamu sukses, hidup senang!"Dio mulai menegaskan alasannya.

"Tapi gak dengan acara seperti ini, semua gak harus sama persis dengan apa yang ayah mau!"

Dio kehilangan kata-kata, ia memijat keningnya yang mulai terasa berat.

"Gamal punya jalan sendiri, Gamal tau apa yang terbaik untuk Gamal. Keputusan Gamal, biar Gamal yang urus itu."

"Oke fine! Kalau kamu gak dengerin perkataan ayah, lebih baik kamu pergi dari rumah ini! Urus hidup kamu sendiri!"

Gamal benar-benar dihantam keras, dia tak percaya mendengar perkataan itu keluar dari mulut ayahnya. Perkataan yang sesungguhnya tak pernah ingin ia dengar.

"Oke! Kalau itu yang ayah mau, Gamal akan pergi dari rumah ini. Jika itu bisa membuat ayah senang, Gamal akan lakukan itu."

Dio langsung diam, ia tak percaya anaknya akan menerima tantangannya.

Gamal menatap wajah Ayahnya sekali lagi, kemudian cowok itu berbalik badan lalu pergi keluar, membanting pintu kamar ayahnya.

-oOo-

Dio menuruni anak tangga, dari kejauhan ia melihat putranya tengah berhadapan dengan ARTnya. Wanita paruh baya dengan daster itu tengah berusaha menahan Gamal yang hendak pergi membawa sebuah koper besar.

Dio tak langsung turun dan menahan anaknya untuk pergi, justru Dio jadi berfikir apakah anaknya itu akan bisa dan sanggup mempertanggung jawabkan atas ucapannya sendiri?

Meski khawatir dengan anaknya, namun Dio tak melarang sedikitpun Gamal untuk pergi.

Kemudian Dio barbalik badan, ia sama sekali tak perduli jika Gamal benar-benar pergi bahkan tak berpamitan padanya. Dio yakin, jika sudah tak tahu arah tujuannya, Gamal pasti akan kembali sendiri ke rumah ini.

Di sisi lain, sang ART hanya bisa pasrah melihat Gamal yang pergi dengan membawa koper hitam besar. Ia hanya bisa mengantar Gamal ke luar rumah.

Di luar, Gamal tak pergi dengan motor atau mobilnya, namun cowok itu memesan taksi. Entah apa yang dipikirkannya dan entah akan kemana cowok itu akan pergi, namun Gamal yakin dengan keputusannya.

-oOo-

Ting!

Tong!

Nathan membuka pintu rumahnya, detik berikutnya cowok itu dibuat terkejut dengan sosok yang datang ke rumahnya. Iya! Itu adalah Gamal!

Nathan semakin dibuat Bingung terlebih lagi Gamal datang membawa koper besar.

"Gamal... Jangan bilang Lo..."

Gamal menghela napas berat. "Iya. Apa yang ada di kepala Lo sekarang, itu bener!"

Nathan menutup mulutnya saking tak percaya dengan apa yang Gamal lakukan.

"Jadi Lo Nerima gue disini gak?"tanya Gamal to the point.

Nathan hanya bisa menghela napas berat. Meski ini bukan kali pertamanya cowok itu kabur dari rumah dan mendatangi rumahnya, tetap saja Nathan dibuat kebingungan dengan kali ini, ini kali pertamanya Gamal datang dengan koper besar.

Nathan hanya bisa diam seraya memberikan Gamal jalan masuk.

"Drama apa yang terjadi di antara remaja-remaja jaman sekarang?"tanya Nathan geleng-geleng melihat Gamal membawa kopernya masuk ke ruang tengah.

-oOo-

Agak pendek sih

Tomorrow (COMPLETED)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora