[Spesial Episode IV]

382 88 7
                                    

Luca menggerung, bulu-bulunya perlahan naik. Cakarnya mencuat keluar, itu sangat tajam melebihi pisau manapun. Mata merah Luca melotot, dan terkesan akan keluar begitu saja. Sosok di depannya ini telah membangunkan amarahnya. Dia merasa sangat panas, benci, dan sakit. Dia ingin merangsek dan mencabik-cabik sosok itu. Namun, dia menahan diri.

Exan, Dewa Kehidupan, menaikkan dagu. Mata permatanya menatap Luca rendah, sudut bibirnya turun dan alisnya mengerut dalam. Rambut perak panjangnya dibiarkan tergerai, dan angin mengibarkannya dengan leluasa.

Amare, yang menonton dari balik pintu depan vila, meringkuk ketakutan. Dua sosok yang berkekuatan paling tinggi di Hyacintho bertemu. Ia datang ke sini untuk berkonsultasi tentang beberapa dokumen, tapi malah mendapati dewa itu datang.

Mata Amare mendung. Keduanya menguarkan aura permusuhan yang sangat kuat, sampai terkesan mustahil mereka pernah bersahabat. Terutama itu persahabatan yang terjalin selama ratusan tahun. Itu bahkan saat di mana ia belum diciptakan oleh Exan.

"Vila yang bagus, Luca." Exan berkata, memperhatikan vila besar yang ada di belakang Luca. Itu ialah vila pemberian Sharley, yang mulanya termasuk properti keluarga Alerian sekarang resmi dijadikan tempat tinggal Luca. Vila besar itu dikukung oleh hutan dan sungai. Pemandangannya sangat cantik. Tak semua orang bisa memasuki tempat ini, ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

"Makasih," kata Luca singkat. Ia tak bisa mengendurkan ketegangan dan kemarahannya. Ia harus segera mengusir dewa dari sini.

"Kenapa kau datang? Itu hanya membuang waktumu," kata Luca, berusaha mengendalikan nada suaranya. Namun, bagi Exan yang sudah mengenal Luca dengan sangat baik, ia menangkap ketegangan itu. Begitu juga dengan Luca. Ia melihat kepalan tangan dewa. Terkadang, dewa juga menyelipkan rambut berantakannya yang bandel melewati telinga. Itu kebiasannya saat tegang.

Mereka sangat saling mengenal satu sama lain.

"Kenapa? Aku hanya ingin mengunjungi kawanku setelah sekian lama." Exan mendekat, dagunya semakin diangkat naik. Luca berdecih, tapi membiarkan dewa memasuki vilanya. Ia melihat kilat kemarahan di mata dewa dan tersentak.

Dalam lubuk hati terdalan Luca, dirinya tak berharap selalu dibenci Exan. Ia ingin berbaikan. Namun, sebagian besar hatinya yang telah disakiti menolak itu. Hubungan mereka sudah terlalu rusak.

"Kawan? Jangan mengada-ngada. Kau yang memutuskannya. Kita bukan kawan lagi. Kita hanya dua orang yang tak saling mengenal." Luca berkata acuh tak acuh.

Dewa tersenyum simpul. "Kau seharusnya merasa di atas langit, kau mendapatkan kekuatanku."

"Heh, aku memang merasa di atas langit. Dewa, kau mengetahuinya dengan benar. Meskipun aku merasa begitu, aku tak pernah memandang rendah bumi. Aku terus membimbingnya, bukan seperti dirimu yang tak memedulikannya."

Luca tahu benar kondisinya sekarang. Orang-orang menganggapnya dewa, tapi ia selalu menekankan bahwa dirinya ialah penjaga. Ia tak mau menjadi eksistensi seperti dewa.

Dewa mengumpat keras. "Jaga bicaramu, harimau bodoh."

"Terserah apapun yang kau katakan. Aku tak peduli sama sekali. Kau bukan siapa-siapaku lagi sekarang, dan kuharap kau pergi sekarang juga." Luca ikut mengumpat. Matanya memandang rendah dewa.

Dewa Kehidupan mencibir. "Kau memiliki kekuatanku dalam tubuhmu. Jangan bersombong."

"Ini milikku sekarang," jawab Luca enteng. Dirinya benar-benar muak.

"Dasar pencuri! Kau tak seharusnya hidup sampai sekarang! Kau seharusnya mati saja!" Muka Exam memerah karena marah. Ia mendekat, tangannya bersiap menghanjar Luca.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora