VII. Pulau Tersegel

396 84 5
                                    

Aldrich menghela napas berat. Dia mengalihkan pandang pada burung elang yang bertengger santai di balik dahan pepohonan. Tak khawatir bakal dipanah oleh prajurit.

"Kau benar. Itu tak sepenuhnya salah. Tapi aku tetap saja marah, kau menghapus sesuatu yang sangat kubanggakan dan merupakan bagian dari jiwaku." Aldrich berjalan ke pembatas lantai, meletakkan tangannya di besi mengkilap itu. Sharley mendekat, dan menyadarkan badan di pilar.

"Tidak ada seseorang yang tak marah ketika bagian jiwanya direnggut. Kau takkan tahu rasanya karena tak pernah mengalaminya, Sharley."

Sharley melirik, mendengus pada jarak yang tercipta. "Aku memang tak mengalaminya, tapi aku senang Paman bisa mengerti diriku. Aku sendiri tak mengakui perbuatanku sepenuhnya benar, tapi aku memilih ini demi masa depan Alerian yang lebih baik. Aku mencintai keluarga ini, lebih daripada siapapun."

"Pasti berat ya?" Aldrich tampaknya tak menyimak ucapan Sharley tadi. Karena dia menanyakan hal yang sama sekali lain. "Kalian terpisah di masa lalu dan kau sangat diobsesikan oleh Ethaian. Aku tak bisa membayangkan seberapa stress dirimu saat itu."

Sharley menyeringai. "Jangan tanya lagi. Aku menangis setiap hari, ditekan begitu banyak hal. Aku tak pernah diterima di istana, tapi Ethaian bahkan tak memedulikannya dan menghukum mati orang-orang yang ketahuan menghinaku. Tapi di luar itu, dia tak pernah memedulikannya."

"Kau bertahan dengan baik. Semuanya bangga padamu."

"Kelihatannya juga begitu." Sharley menguap, mendadak ia mengantuk. Matanya terasa berat untuk dibuka, seperti ada lem yang menempel erat. Angin yang bertiup damai menambah kantuknya. Ia hanya memikirkan kasur dan bantal.

"Kau sudah mengantuk, bergegas ke kamar dan tidur. Malam sudah semakin larut dan besok ada hari besar yang harus kau jalani," kata Aldrich sambil memasangkan jubahnya ke bahu Sharley. Sharley tanpa sadar merapatkan jubah, mencari kehangatan untuk merebahkan diri. Dia tersenyum kecil. Aldrich tak betul-betul membencinya. Itu menyenangkan.

"Selamat malam, Paman. Tidur yang nyenyak." Sharley berbalik, berjalan pelan dan bermuka memerah senang. Aldrich tak menjawab, membalikkan badan. Mereka berpisah di situ. Saling memunggungi dan merenungkan pikiran masing-masing. Bertanya-tanya apakah esok masih mengandung keberuntungan sementara Sike Chaka Paton Luca semakin meresahkan.

🌙🌙🌙

Esok hari begitu cerah. Sharley merengut pada matahari lewat jendela, berharap awan-awan tebal menggulung matahari itu supaya sejalur dengan perasaannya sekarang. Namun seolah matahari mengejeknya dan berkata jika ingin muncul lebih lama. Beruntungnya cuaca tak terlalu dingin, Sharley tak perlu menggunakan syal atau sarung tangan. Dia tak perlu takut menggigil.

"Kita ke sana dengan apa, Yang Mulia?" tanya Asher. "Portalku. Kita akan mendarat di teluk kecil dekat pulau itu, jangan khawatir, di sana aman dan sepi. Dari sana aku akan mengucapkan mantra dan tabir sihir akan terobek. Aku tak tahu apakah para monster akan menyadari keberadaan kita atau tidak, tidak ada yang menjelaskan itu."

"Artinya kita bisa saja diserang monster begitu tabirnya dirobek? Itu sangat berbahaya," komentar Cleon, sembari mengencangkan jaket berekornya dan menyelipkan sekantong serbuk entah apa di baliknya. Asher menyelipkan sebilah pisau beracun di sepatu boot sementara Sharley tak membawa apapun yang mematikan. Dia khawatir apakah benar-benar berguna.

"Berbagi kemungkinan bisa terjadi di sana. Tapi mungkin saja mereka tak mengetahuinya karena segel itu tak terlepas. Ratusan tahun mereka menunggu segel terlepas dan pikiran mereka mungkin mudah dialihkan," jelas Rezvon. Dia menaruh sebotol ramuan di saku dan pecut melingkari pinggangnya seperti sabuk.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now