XLIII. Pertempuran Kedua

314 73 14
                                    

Sharley tak dapat berbuat apa-apa ketika ayahnya mengoceh di kursi samping ranjangnya. Dia menarik selimut sampai ke leher, berharap Rezvon berhenti mengomel layaknya ibu-ibu tetangga. Sharley mengusap telinganya yang panas. Setiap ingin berbicara, Rezvon menyelanya. Alhasil, dia hanya diam dan menciut ketakutan.

Sharley merasa tubuhnya seringan kapas. Lengannya yang disayat sudah sembuh sepenuhnya. Selain itu, tak ada luka yang lebih parah. Dia kacau dari dalam tubuh, bukan dari luar.

"Sharley, kau mendengar ucapanku?!" Rezvon berteriak setelah merasa anaknya tak mendengarkannya. Sharley menoleh, dia lupa apa yang dikatakan Rezvon. Semua itu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

"Eh? Iya."

"Sebutkan kalimat terakhirku tadi."

"Permen kapas enak dimakan saat kencan?"

Rezvon melotot. Tangannya maju dan mencubit pipi Sharley yang agak tembem. Sharley berteriak, tapi untungnya Rezvon cepat menarik tangannya kembali. "Kau ini bandel sekali ya?"

"Ya. Aku pernah bolos sekolah saat sekolah dasar. Tapi aku tak pernah bertingkah di luar batas, kok," bela Sharley. Rezvon menukikkan alis, dia juga pernah bolos saat pelajaran sewaktu kecil dulu. Dia juga pernah tak mendengarkan omelan ibunya dan berakhir dijewer.

Rezvon berpikir kalau Sharley sangat mirip dengannya. Terlepas wajah Sharley seperti jiplakan Thalia.

Sharley mengusap pipinya yang merah. Ia tahu perbuatannya salah, jadi ia menggenggam tangan Rezvon dan meminta maaf. "Aku benar-benar gegabah, aku mengakui itu. Aku cuma ... tak ingin banyak korban berjatuhan. Maafkan aku."

Rezvon menghela napas. Dia menepuk kepala Sharley. "Jangan pernah melakukan hal seberbahaya itu. Kau bisa mati jika memaksakan kekuatanmu."

Sharley tersenyum enteng. Dia belum memikirkan apakah akan menggunakan kekuatan itu lagi nanti. "Baiklah! Papaku memang yang terbaik! Sudah tampan, kaya raya, perhatian pula!" Sharley memeluk Rezvon, mencium aroma yang berbeda. Itu aroma sabun dan susu.

"Ugh, apakah ini semacam sogokan?" Meski berkata begitu, Rezvon membalas pelukan putrinya dengan hangat. Tak lama kemudian, Sharley melepas pelukan. Ia menerbitkan senyuman yang agak meragukan.

Sharley pun mengungkapkan sesuatu yang dipendamnya. Dia menyingkirkan selimut dan berhadap-hadapan dengan Rezvon. "Papa, ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Mungkin hanya aku yang menganggapnya aneh."

"Hm? Katakan saja." Rezvon merapikan jasnya. Setelah ini, dia harus pergi ke penjara bawah tanah karena Eloz berhasil menangkap salah satu bangsawan pengkhianat. Kerajaan lain yang berhasil menangkap pengkhianat-pengkhiant ini adalah Tenebris dan Mane. Namun Opiter dan Bertram berkata kalau mereka benar-benar tutup mulut soal Luca.

"Saat aku menurunkan petir, aku merasa dadaku seperti digedor-gedor. Itu sangat sakit, bahkan saat menggunakan artefak untuk menopang kekuatanku, rasa sakit itu tak berkurang sama sekali."

"Huh, itu karena paksaan dari kekuatanmu. Tidak ada yang aneh. Masih untung kau tidak kejang-kejang atau yang lebih parah dibanding semua lubang di kepalamu –– kecuali telinga –– berdarah." Rezvon serta merta menjawab. Sharley cemberut, dia cukup yakin itu bukan hanya karena ledakan kekuatan.

Namun, dia tak memiliki ide sama sekali tentang hal itu.

"Aku tak yakin, Papa." Dia memainkan jari. Rezvon mengelus rambutnya sekali lagi, tersenyum lembut mencapai mata, dan berbicara dengan suara pelan. "Hei, itu bukanlah sesuatu yang harus kau pikirkan. Yang penting, kau selamat. Itu sudah cukup bagiku, nak. Tidak perlu memikirkan sesuatu yang lain, oke?"

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now