XXV. Trauma dan Pengorbanan

337 87 3
                                    

Lokasi kedua yang mereka tuju adalah spirit bumi, yang berada di Hutan Latchnight. Akibat dari auman Luca, dan bencana tercatat di Mane sebagai kedua terbanyak setelah Mardiem, kerajaan itu seperti pecahan gelas di lantai. Sangat berantakan. Awan suram memeluknya seram, dan udara seolah membisikkan pada penduduk bahwa tak ada tempat bagi mereka untuk berlindung.

Hari kebangkitan Luca sudah dekat. Orang-orang berbondong-bondong ke kuil atau oratorium untuk berdoa supaya dilindungi Yang Maha Kuasa. Tapi sepertinya Tuhan pun takkan bisa mencegah Luca bangun, pikir Sharley. Dia tak bergantung pada Tuhan sama sekali. Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini dia jarang berdoa.

Hutan itu biasa saja, tak ada yang istimewa kecuali bukit indah dan sabana yang mengelilinginya. Mereka menembus pepohonan rapat, mengejutkan sekeluarga berang-berang dan sekelompok kelinci. Mereka lihai berkelok-kelok, meski Rosemary agak kesusahan karena pohon begitu rapat. Cleon sempat-sempatnya mencomot elderberry dan membagikannya ke yang lain.

Mochhie menangkap kelinci kemudian diserahkan pada Asher. "Apa?" tanya Asher, sibuk mengendalikan Pegasus. "Kau memberikannya untuk makan? Astaga, yang benar saja. Jadwal makan masih lama, buang saja, anak ayam."

Mochhie menciut sedih, tapi tetap membuang kelinci itu dan bertengger di bahu Asher. "Di sana!" seru Cleon, masih menguyah elderberry. Tempat yang ditunjuk adalah gubuk tua dan di sampingnya ada pohon cendana besar. Tekanan aura sangat kuat, tapi lebih kalem dibanding Fenrik. Sharley optimis jika spirit bumi ini sosoknya lemah lembut.

Tampaknya itu kurang tepat. Begitu mereka merobek sihir ilusi, terengah-engah, mereka langsung melihat spirit bumi yang bergelayutan di pohon cendana. Di sekitarnya sama sekali lain. Pohon-pohon tak rapat, terdapat sebuah rumah kayu apik, dan bahkan ada air terjun juga. Air terjun yang sangat tinggi dan indah. Burung-burung berkicauan nyaring. Sekelompok rubah bermain di bawah pohon cendana. Mereka mencium aroma perpaduan bunga dan hujan. Tempat ini lebih indah dibanding istana Fenrik ataupun museum Amare.

Mereka menyatu dengan alam. Desiran angin bermain seperti seruling, meniupkan dedaunan yang menguning. Beberapa burung mengitari mereka dengan penasaran, tapi mereka tak tampak berbahaya sama sekali. Justru Mochhie yang menjadi sumber bahaya, jadi mereka menjaga jarak darinya.

Spirit bumi ialah wanita cantik berambut sehijau lumut dan bermahkotakan untaian bunga. Wajahnya dipoles make up tipis yang memberi kesan lembut. Bulu matanya demikian lentik, dan memiliki leher lebih panjang dibanding Floretta. Pakaiannya berupa kain sutra terusan tanpa lengan dengan ikat pinggang anyaman. Meski ikat pinggang itu sekadar hiasan dibanding memang perlu. Ia mengelus-ngelus rubah yang berada di pangkuan. Ia terkesan seperti ibu kalem yang merawat anaknya.

"Anu, dia tak melihat kita?" bisik Zephran.

"Lihat kok," balas si spirit bumi. Mereka berjengit.

Spirit itu melompat turun dengan kaki tanpa alas. Rambut panjangnya tampak berkilau dan ternyata aroma bunga itu berasal dari sana. "Perkenalkan, aku Jytia. Spirit bumi. Aku mendengar kalian dari Amare, jadi kalian datang untuk melakukan perjanjian?"

"Amare ke sini? Kapan?"

Jytia menggeleng. Para rubah mengerebunginya seperti lalat. Dia menguarkan aura positif yang membuat hewan dan rombongan merasa tenang. "Aku yang ke tempat Amare, sekadar untuk mengunjunginya. Dia bercerita panjang lebar tentang kalian. Nah, silakan duduk."

Mereka menunduk, kaget karena di belakang tergelar karpet. Terlalu fokus pada Jytia sampai tak sadar jika ada rubah yang menggelar karpet. Mereka duduk dengan canggung, sementara Jytia duduk di atas batu. "Ah, aku mengingatnya. Kau mencintai Amare tapi Amare tidak peka-peka. Memangnya tak lelah ya mendekatinya ratusan tahun?" celutuk Asher.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu