LVIX. Demi Menyingkirkan Rasa Sakit

331 84 9
                                    

"Hahahahaha!" Luca tertawa keras, semata-mata untuk menghibur diri sendiri. Luka tak kasat mata dan sulit dijelaskan telah terpatri di hatinya. Luka itu sangat besar, dan mampu merobek-robek dirinya. Itu seperti ditusuk tombak sampai tembus kemudian dilempar ke lahar gunung. Bukannya ia pernah mengalaminya, tapi itu benar-benar sakit.

"Exan, kau pasti bercanda. Kau berniat menghancurkan hubungan kita?!" Luca memilih memanggil nama panggilan dewa. Itu bukanlah nama resmi, tapi dewa memintanya memanggil begitu.

"Siapa peduli dengan hubungan kita?" dewa mengernyit.

Luca menaikkan ekor, bulu-bulunya berdiri. Perkataan itu menusuk hatinya, lebih dalam dibanding apapun. Luka itu semakin membesar dan mendorongnya lebih dalam ke kegelapan. Kaki Luca bergetar, dan merasakan air di pelupuk matanya. Dewa menatapnya tanpa peduli air matanya.

"Ratusan tahun, kita bersama-sama. Ratusan tahun, kau menjadi temanku. Sekarang, kau ingin membuangku? Exan, jangan bercanda!" Memori-memori tentang kebersamaan mereka berputar di kepala Luca.

Luca adalah tempat bersandar bagi Exan.

Exan adalah rumah bagi Luca.

Keduanya ialah sebuah rantai yang tak bisa diputuskan bahkan setelah ratusan tahun. Hubungan mereka lebih erat dibanding siapapun yang ada di dunia. Hubungan mereka lebih menakjubkan dan langgeng. Tidak ada yang bisa mengalahkan mereka.

Namun, kini, Luca melihat rantai itu putus. Ia tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Tidak, ia tak tahu harus menyalahkan siapa. Ia diseret ke kegelapan, tanpa tahu apa yang ada di ujung sana. Kekecewaan, kemarahan, kesedihan, terus menuntunnya.

"Ingatlah baik-baik. Tanpa aku kau tak bisa menjadi sekuat sekarang! Kau hanya harimau menyedihkan yang kupungut dan kubebaskan dari kelaparan!"

"Apa-apaan itu?! Tanpa aku juga, kau tak bisa mendapatkan tempat ini dan membuat dirimu menjadi dewa tertinggi! Akulah yang membuat dewa kematian dan dewi langit tunduk padamu! Jangan pernah lupa itu!" Amarah Luca naik ke kepala. Ia merasa sangat panas.

Dewa menarik rantai, kemudian dengan segenggam kekuatan, dia membanting Luca ke dinding. Luca menghantam dan menembus dinding, dan jatuh dari ketinggian sembilan ratus meter. Angin menamparnya seperti cambuk dan menertawakan nasibnya. Ia menatap tanah, berpikir kepalanya akan pecah begitu jatuh.

Ia berbalik, melihat dewa yang memandangnya acuh tak acuh.

Jika dalam situasi normal, Exan akan menyelamatkannya meskipun tahu ia bisa terbang. 

Luca tertawa. Tak ada gunanya mengingat itu. Semua sudah berubah.

Segalanya sudah tak sama.

Angin menopang Luca dan membuatnya terbang. Perlahan ia mendekat, dewa hanya membisu. Kerutan dalam di alisnya nyaris menyatu. Dia harus membuang Luca ke Hyacintho sekarang. Dia sangat tak terima kekuatan itu dicuri Luca, dan benar-benar tak mengerti kenapa harimau tersebut berbuat seperti itu.

"Jadi, kau lebih memilih untuk membuangku daripada mempertahankan persahabatan kita?" Luca bertanya rendah.

"Ya, aku memilihnya."

"Aku memberimu kesempatan untuk memikirkannya lagi. Kau mau memutus persahabatan yang sudah kita jalin selama ratusan tahun?"

"Kenapa aku harus memikirkannya? Keputusanku sudah bulat. Kauakan dibuang dan kekuatanmu akan kurenggut."

"Jadi, begitu rupanya. Dasar dewa egois, bodoh, kurang ajar, dan terlalu terobsesi dengan miliknya sendiri." Luca tersenyum miris. Ia berusaha menahan air matanya. Ia tak boleh menangis di sini dan ia tak pernah menangis. Ia tak tahu menahan tangis ternyata sesakit ini.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora