XXIX. Memori Al

322 81 0
                                    

Aldrich kecil yang masih berusia sembilan tahun menghampiri kakaknya di ruang belajar. Aldrich menggigit lidah, lagi-lagi dia menemui Rezvon yang dipuji karena menyelesaikan PR yang seharusnya selesai dalam seminggu tapi dia dapat menyelesaikannya dalam tiga hari.

"Permisi, Guru Bilnix." Aldrich menahan rasa iri dan dengkinya jauh-jauh di lubuk hati. Bertahun-tahun dia menyembunyikan ini, membiarkannya tumbuh lebih cepat ketimbang yang dipikirkannya.

"Anda agak telat, Yang Mulia Pangeran." Guru Bilnix berujar. Dia cukup baik, tak membanding-bandingkannya dengan Rezvon, tapi Bilnix membuat mata Aldrich sepat. Guru gendut berkacama itu terlihat begitu menjijikkan. Rumor yang menyebar tentangnya sama sekali tak baik. Aldrich selalu mual saat belajar bersamanya dan dia menahan hasrat menendang Bilnix keluar.

"Ah, kudengar kau harus menghadap ayah." Rezvon duduk di samping Aldrich. Al mengepalkan tangan, berpura-pura tersenyum. Alangkah melelahkan harus seperti ini setiap saat. Berpura-pura menyukai Rezvon dan akur.

Bangsawan yang datang ke istana pasti mengoceh tentang betapa akurnya dua pangeran itu. Mereka akan tersenyum, tapi yang satu tulus yang satu penuh kepura-puraan. Al membenci kakaknya, tapi di satu sisi dia menyayanginya. Dia berharap suatu hari dapat mengeluarkan terang-terangan kebencian ini.

Untuk saat ini, dia hanya menjadi bayangan Rezvon. Namun suatu hari nanti, dia akan keluar dari bayang-bayang itu. Seringkali dia bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah dia benar-benar berniat menyakiti Rezvon? Aldrich akan menutup mata, berbalik, dan meninggalkan pertanyaan itu.

Dia benci memikirkannya.

"Benar. Ayah memintaku untuk menyelesaikan beberapa dokumen. Sepertinya kau sudah menyelesaikan PR, ya?"

Rezvon menunjukkan essainya dengan bangga. "Tentu. Aku begadang semalam untuk menyelesaikan ini." Aldrich mengulum senyum, membuang muka ke arah lain. Dia baru mengerjakan setengah. Itu terlalu sulit sampai dia khwatir apakah masih bisa bernapas setelahnya.

Bilnix menepuk tangan. "Nah, mari kita mulai pelajarannya. Kemarin sampai di mana?"

"Klasifikasi peta, hari ini seharusnya komponen peta," kata Rezvon, membuka buku geografinya. Bilnix mengangguk, dia pun mulai menjelaskan. Aldrich menopang dagu, dia tak terlalu menyukai geografi, tapi nilainya cukup bagus.

Aldrich benci jika nilainya jelek. Dia harus lebih pintar dibanding Rezvon. Lebih dari segalanya dibanding kakaknya.

Tiba-tiba Rezvon mendekatkan mulut ke telinganya. Bilnix terlalu fokus menjelaskan sampai tak sadar Rezvon berbisik. Biasanya memang begitu. Mereka akan mencuri kesempatan-kesempatan kecil untuk berbisik.

"Nanti aku akan membantumu. Essainya sangat susah, tapi beruntungnya aku bisa menyelesaikan itu. Saat tengah malam, aku datang ke kamarmu. Oke? Jangan sampai ada yang melihat, Guru Bilnix tak menoleransi contekan atau bantuan sama sekali."

Aldrich terbelalak. Rezvon tersenyum lebar sampai gigi-giginya kelihatan. Dia membatin bimbang. Bagaimana aku bisa membunuh kakak yang sebaik ini?

–Ruang singgasana, saat Aldrich berumur sebelas tahun–

Anak kecil itu meringkuk di lantai, keberaniannya sudah mencapai ujung penghabisan. Ia ingin menerjang sosok di depannya ini, tapi lagi-lagi lagi ia sadar, tak ada gunanya.

Tak peduli seberapa besar sakit hatinya, Aldrich takkan bisa melawan sosok di sana. Percuma, perasaan ini hanya akan semakin membuncah dan memakan dirinya. Dia menyadari ketidakbergunaan itu sejak lama, dan memilih untuk diam.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang