XIV. Mimpi Buruk

328 86 4
                                    

Sharley mengurus dokumen-dokumen yang diberikan ayahnya untuk dikerjakan. Mejanya kini penuh dengan kertas-kertas yang niscaya bakal buat pening tujuh keliling anak sekolahan biasa. Sudah dua jam ia berkutat dengan benda ini, ditemani seteko teh limun, aroma ruangan berupa apel, dan angin karena jendela yang terbuka. Menggigit wajahnya.

Sharley merasa tua sepuluh tahun karena alisnya terus berkerut-kerut dan sering mendengus. Tapi dengan sabar, ia mengerjakan semuanya.

Takkk!

Pena bulunya patah. Sharley mengambil pena lagi dari kotak, mencelupkan ke botol tinta yang tinggal setengah. Ia melemaskan bahu dan leher yang menegang. Mengalihkan pandangan ke meja lain yang lebih besar, yang kepala pemiliknya terbenam di antara dokumen setinggi semeter. Dengkuran halus terdengar. Sharley mencibir. "Papa, bangun! Ini bukan saatnya tidur!"

Benturan keras pun tak terhindarkan. Kaki Rezvon membentur meja dan membuatnya menjerit, sementara tinta tumpah di tangannya. Kertas-kertas berhamburan seperti bulu. Meja kotor oleh tumpahan tinta yang makin mengalir ke mana-mana. Sharley bergegas menyelamatkan kertas-kertas dokumen. Mendekapnya erat, sementara Rezvon meraih kaki.

Untuk kali ini, respon Rezvon payah, tapi Sharley mengakui ini kesalahannya juga.

Rezvon memelototi putri semata wayangnya. Sharley tersenyum kaku. Dia mengusap tangan kanan yang terkena tinta, dan seketika tinta membekas di tangan kiri. Rezvon mendesah, Sharley mengulurkan sapu tangan.

Setelah mengelap tangan, Rezvon pun menanggalkan jas. Kemejanya tidak terkena tinta. "Maafkan aku," cicit Sharley. Rezvon menghempaskan diri ke kursi dengan gerakan yang dibuat-buat dramatis. Dia memandang putrinya.

"Berikan aku alasan kenapa kau berteriak untuk membangunkanku."

Sharley menjilat bibir, tak menggapai alasan apapun. "Tidak ada."

Rezvon membunyikan lonceng. Pelayan serta-merta datang, Rezvon memberikan perintah untuk membersihkan meja. Mereka mengangguk, bergegas mengambil serbet dan sebaskom air. Rezvon menyingkir dari mejanya, duduk di ceruk jendela lengkung maha besar. Sharley menyusulnya.

Pemandangan kota makin suram saja, pikir Sharley. Langit sudah banyak menyimpan kecemasan warga. Berpetak-petak pepohonan makin banyak menggugurkan daun-daun kecoklatan tanpa dibersihkan. Sharley mengerjap-ngerjap, berusaha mengusir citra Luca dari benaknya.

"Kata panglima sudah ditemukan lokasi pertama. Tinggal tiga lagi." Dia membuka pembicaraan, Rezvon mengangguk paham. Ia sudah tahu.

"Kita harus bersabar menunggu, sementara bencana-bencana makin meningkat. Lihat di bagian timur Caelum."

Semula Sharley tak memperhatikannya  tapi di sana, di tebing curam yang menghias timur kota dan mengukungnya seperti benteng, tingginya amat berbeda dari yang diingat Sharley. Pohon-pohon di atasnya amblas. Petugas berterbangan di sekitar menggunakan Pegasus, salah satunya memberikan komando-komando. Itu pasti longsor.

Ia teringat dengan berita muka di koran pagi ini. Ia pun memandang sendu Rezvon. "Pasti ada jalan. Papa harus percaya itu."

"Aku sedang berusaha tak patah semangat." Ia menyeringai tipis. "Jika pencarian dilakukan, itu artinya aku akan di sini lebih lama lagi. Izin sekolahku hanya seminggu."

"Tenanglah. Keluarga Adalvino akan mengurusnya. Aku sudah mengirim surat kepada mereka untuk 'perpanjangan izin'. Situasi mendesak. Tapi Sharley, apa kau benar-benar yakin? Kau bisa kembali ke Mavexy kalau mau."

Mata Sharley berkilat-kilat. "Sayangnya aku tak mau. Berhenti membahas itu, Papa. Aku akan selamat. Janji."

"Tidak ada yang mengetahui masa depanmu, tapi baiklah. Aku selalu percaya denganmu, putriku yang cantik." Rezvon mengelus rambut Sharley. Gadis itu terkekeh, dia selalu bisa membujuk ayahnya.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now