XLV. Awal Perang di Greengrass

277 71 2
                                    

Pertempuran yang teramat sengit itu susah dilihat. Api menguasai medan, dan gerakan-gerakan mereka nyaris tak bisa ditangkap oleh mata biasa. Phoenix tak memiliki kecepatan setara vampir, tapi setiap mereka mengepakkan sayap, api akan menyembur keluar dan mengundang teriakan panik hybrid. Mereka telah terjebak dalam api, tetapi tak menunjukkan akan menyerah ataupun tumbang.

Melihat itu, membuat Amare tersenyum. Bocah-bocah hybrid ini seperti dirinya yang tak peduli dengan luka dan menyerang seperti orang gila. Amare sangat suka berkelahi, dengan begitu dia akan mendapatkan luka dan tertawa-tawa.

Pria masokis ini begitu kasihan dan tertarik pada makhluk ciptaan Luca.

Phoenix dengan cepat memahami jika cakar dan patukan mereka tak berkesan banyak. Maka dari itu, mereka memilih untuk menyerang dengan api terlebih dahulu, kemudian baru memanfaatkan cakar. Salah satu anak hybrid tertangkap cakar, dia meronta-ronta dan berusaha mencakar balik. Phoenix memekik pada Amare.

"Jangan bunuh. Buat dia pingsan." Amare memahami tatapan itu, dan Phoenix pun mengangguk. Amare memperhatikan anak-anaknya –– secara teknis bukan begitu tapi dia sudah menganggap mereka sebagai anak –– sambil memikirkan bagaimana Luca membuat hybrid ini.

"Semua, pertahankan benteng!" teriak komandan. Monster-monster yang tersisa telah memasuki benteng dan memasuki kota. Jadi, para penyihir berteleportasi dan muncul di depan mereka. Penyihir-penyihir itu menembakkan bola api, tombak es, menjerat monster dengan tali merah, dan gumpal-gumpal kegelapan. Mereka semua turun, mengosongkan benteng yang hancur setengah.

Amare terbang menyusul, pedang api birunya menyabet udara. Segera saja, dalam jarak lima meter, tiga monster terbakar. Penyihir menyingkir saat melihat kekuatannya. Mereka takut terhadap api biru.

Asher mendarat di samping Amare. Tali merahnya mengikat monster, kemudian membantingnya. Tali itu praktis memotong leher monster tersebut. Tali merah Asher sudah berada di level setinggi itu sehingga bisa memotong monster yang besar-besar. Cleon berubah ke wujud serigala, merangsek maju dan mencakar-cakar monster. Gerakan bruntalnya susah diatasi para monster, terutama mereka juga terkepung penyihir.

Monster berkepala ular dan berbadan kelabang menggigit Cleon. Esmund mendarat di atas monster itu dan menusuk otaknya. Monster itu meronta, Cleon yang terlepas pun mencakar matanya.

Amare memperhatikan Asher yang lebih tenang. "Kau kehilangan Mochhie," ucapnya. Amare melompat, pedangnya berganti cambuk dan mengikat badan monster. Dia menyaksikan tim itu saat ke Jytia, dan menemukan kalau Mochhie dikorbankan demi tugas.

Amare menjadi marah. Dia membuat Mochhie, Phoenix termuda miliknya, mengorbankan diri. Jytia jelas tahu jika ada Phoenix di tim Sharley dan memanfaatkan itu. Amare sungguh tak mengerti dengan perempuan bodoh yang selalu mengikutinya dan terkadang bertingkah seperti jalang. Jytia berkata kalau dia mencintainya, tapi Amare tetap tak paham. Dia tak memedulikan percintaan.

Dia pun semakin marah karena Mochhie mati. Dia berniat untuk tak menerima kedatangan Jytia lagi.

"Ya. Padahal aku senang memiliki burung peliharaan baru. Dia menyebalkan, si anak ayam itu. Dia sangat cerewet dan selalu berusaha menarik perhatianku. Namun, setelah kehilangan dia, aku merasa ... kosong. Walaupun cuma singkat, walaupun tak meninggalkan banyak kesan, aku takkan melupakan kehadiannya."

Amare melihat Asher benar-benar sedih. Mata itu memang tenang, tapi siapapun yang jeli dapat menemukan secercah kesedihan yang tersembunyi di bagian terdalam. Di mana pemiliknya berusaha menyingkirkan hal itu, melawan rasa sakit yang lebih tajam dibanding tali merah.

Amare melihat monster di bawahnya sudah mati. Dia tersenyum. "Tidak ada Phoenix yang merelakan kepergiannya. Aku melihat mereka sangat geram. Kau tahu kenapa Mochhie seberharga itu?"

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now