LIII. Persetujuan dari Jeremy Vallet

278 69 13
                                    

"Tolong, biarkan saya masuk." Sharley berkata dengan sabar, memelototi pintu seolah itu ialah sesuatu yang harus dia ledakkan. Bunyi benda-benda berjatuhan kembali terdengar, kali ini semakin keras dan menggambarkan betapa kesalnya Jeremy.

Sharley melihat pintu terbuka dan sebuah vas melayang padanya. "Tsk." Sharley menangkap vas itu, tepat dua puluh senti di depan mukanya. Dia tak ahli menangkap barang-barang, alhasil vas itu agak meleset. Dia menoleh ke bawah, di mana seorang kurcaci yang hanya setinggi pahanya berdiri garang.

Jeremy Vallet meninggalkan jejak-jejak ketampanan pada mukanya yang bulat. Meski sekarang wajahnya dipenuhi keriput dan bekas luka. Warna kulitnya belang karena sering berada di dekat api dan tempat panas. Alis kirinya terbelah karena tak sengaja tercukur, dan itu mengerut benci pada Sharley.

Jeremy memiliki mata sehijau Cleon, tapi yang ini agak gelap. Rambut panjangnya yang dicat sewarna darah. Sharley tersenyum, dia ingat julukan Jeremy dari tetangga daerah kumuh. Si maniak warna merah.

Faktanya, pakaian dan rumah Jeremy serba berwarna merah. Rumah kecil itu tidak ramah karena dindingnya dicat merah dan perabotannya pun sama. Warna-warna lain ditenggelamkan oleh merah. Sharley melihat pelat besi di mana-mana dan pendiangan yang berkobar-kobar. Perkakas berserakan di lantai, ditemani berbotol-botol alkohol. Bau yang dapat membuat perut Sharley teraduk-aduk itu tercium samar. Langitnya rendah dan menjadi sarang banyak laba-laba. Terakhir, dia melihat kucing gemuk yang mendengkur di pojokan.

Masuk ke rumah ini, akan terasa seperti simulasi di neraka. Sharley menjadi teringat markas Daverell. Namun, setidaknya itu rapi dan berkelas. Ini terlalu berantakan.

"Siapa kau?" Suara Jeremy serak. Matanya tak fokus, menunjukkan dirinya habis mabuk. 326 tahun, Sharley mengingat usia Jeremy.

Dia berujar santai. "Seseorang yang ingin mengajak negoisasi."

"Jangan bercanda. Meskipun kau terlihat kaya, aku tak tertarik dengan uangmu. Pergilah." Jeremy bersiap menutup pintu.

Sharley menahannya. "Aku membawa empat edisi Horn König bersamaku. Ah, dan belasan buku lain."

Mata Jeremy berbinar. Ia hanya setengah mabuk dan ia mendengar jelas apa yang dikatakan Sharley. "Baiklah, masuk."

Sharley mengulas senyum, dia bersitatap dengan anak di pojok gang. Sebuah koin emas terlempar ke sana. Sharley-lah pelakunya dan dia berbisik pendek. "Makanlah dengan baik." Sharley masuk tanpa melihat anak yang makan roti busuk itu. Namun, dia tersenyum.

Dia menghela napas. Rumah ini membuatnya sepat. Jeremy berbalik padanya. "Jadi, kau memiliki itu?" tanyanya tak percaya. Sebuah botol alkohol tergenggam di tangan kirinya. Ia siap melempar itu jika Sharley berbohong.

Sharley menghabiskan waktu dua hari untuk mencari informasi Jeremy. Dia menemukan fakta bahwa Jeremy adalah penyuka karya Horn König. Jeremy pernah ditawari plakat emas oleh kerajaan, tapi ia menolak. Ia benar-benar tak menyukai kekayaan dan kekuasaan. Ia hanyalah penyuka buku yang menghabiskan waktu sendirian karena keluarganya dihabisi perompak saat perjalanan laut dan dikhianati kekasihnya.

Sharley menepuk tasnya. Dia mengeluarkan banyak buku bersampul mewah dari kulit, meletakkannya di meja bundar. Jeremy terus memperhatikan, tinjunya terkepal guna menyembunyikan tangannya yang gemetar. Ia antusias, tapi juga waspada.

Aku mengorbankan sebagian buku edisi terbatas yang dibelikan Papa. Papa akan marah jika mengetahui ini, karena dia mengeluarkan uang yang sangat banyak. Jika kau tak menerimanya, aku akan menendang kepalamu, batin Sharley. Sekarang, tiga puluh buku edisi terbatasnya tinggal lima belas. Dia mengambil semua yang paling mahal, menyisakan lima belas yang lebih murah.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now