XXII. Anak Ayam

290 77 0
                                    

"Kalian menginginkan perjanjianku?" Amare menuangkan gula batu ke cangkir Floretta. Mereka bersembilan dijamu di ruang peristirahatan. Amare memilih tempat yang tepat, karena ruang ini berhadapan langsung dengan Akademi Catreas. Dia menuangkan gula batu di masing-masing cangkir teh tamunya. Sementara berbagai camilan terhidang di meja.

Mengejutkannya Amare memiliki banyak tea set. Itu seperti menggambarkan dia suka berbelanja. Dia tahu trend-trend saat ini. Dia bisa menyesuaikan diri dengan baik, menyajikan berbagai camilan yang disesuaikan selera masing-masing.

Amare duduk di meja paling ujung, yang dibelakangi pintu kaca. Asher duduk di sebelah Sharley, Mochhie berdiri di belakangnya. Setelah insiden itu, Asher mogok bicara. Membiarkan si burung mematuki kepala dan berusaha menarik perhatiannya. Jaket Asher berlubang karena digigit paruh Mochhie, kini disampirkan di sandaran kursi.

"Aku bisa memberikannya, tapi kalian tentu tahu itu tak mudah." Amare menuangkan teh ke cangkir bermotif teratainya. Dia mengambil pisau kue, kemudian tanpa diduga, mengiris tangannya sendiri.

"Kau––" Esmund terperangah. Amare tak menggubris, terus mengiris tangannya sampai darah meluber ke mana-mana. Dia tak terlihat sakit sama sekali.

"Masokis, Fenrik pernah menyebutnya," kata Sharley. Dia mual, ini kali pertama melihat pria masokis dan itu bukan kabar baik.

"Hentikan, Amare. Kita datang bukan untuk melihat dirimu menyakiti diri sendiri," ujar Zephran.

Amare awalnya cemberut, tapi kemudian mengangguk. Tangannya dibersihkan dengan sapu tangan. "Kalian tidak berhak mengkritikku, tapi baiklah. Mumpung suasana hatiku sedang baik. Karena jika suasana hatiku buruk, bisa-bisa kalian tinggal menjadi abu." Amare mengatakannya dengan senyum lebar seolah itu bukan apa-apa. Mau tak mau Sharley merinding. Dia mirip Ethaian, tapi tak mirip-mirip juga. Kesannya seperti melihat sesuatu yang familiar tapi sekejap menjadi asing.

"Nah, kalian harus melakukan tugas untuk mendapat perjanjian denganku. Aku takkan menyakiti kalian, meski aku cukup tertarik melakukannya." Dia berguman di ucapan terakhir. Sharley berusaha mengabaikannya. Dia harus mengakhiri ini, dia tak mau berada di dekat pria masokis yang lebih berbahaya dibanding Fenrik.

"Kalian tahu mata air Lecala 'kan? Aku ingin kalian mendapatkannya. Aku membutuhkan itu untuk sesuatu." Amare menyeruput teh limunnya.

Valerie seketika memucat. Sharley teringat jika mata air Lecala adalah bahan yang digunakan kakak Valerie, Rielvaz, untuk membuat ramuan pengunci kekuatan. Floretta yang peka pun mengusap bahu Valerie, berbisik pada wanita itu jika Rielvaz tak ada di sini. Dia aman.

"Kau ingin kami pergi ke tempat seberbahaya itu?" pekik Blaine.

Amare mengangkat bahu. "Permintaanku hanya itu. Atau, kalian takkan mendapatkan perjanjian dariku dan aku takkan membantu kalian melawan Luca."

Sharley merasa sangat tegang dan getir. Tempat itu belum pernah terjelajah olehnya. Hanya Rielvaz, yang bisa keluar dari sana dengan selamat. Tetapi itu pasti dengan bantuan sihir hitam. Sharley tak sudi menyentuh sihir itu sampai ajal menjemputnya.

"Baiklah. Akan kami dapatkan mata air itu," kata Sharley. Yang lain mengangguk pasrah. Amare tersenyum, menyuap satu macaron ke mulutnya.

"Namamu siapa, anak muda? Kau terlihat sangat menawan, cara duduk dan makanmu pun khas keluarga kerajaan." Amare menuding Sharley.

"Aku Sharley Alerian. Dulunya namaku Clementine, tapi karena tumbuh terasing dari keluarga kerajaan, namaku dirubah."

Amare menjatuhkan garpunya. Terperangah. "Astaga, aku sering mendengar tentangmu. Namamu sangat mahsyur sampai hampir setiap kali aku menyamar selalu mendengarnya. Putri yang menjadi tokoh utama dari pelenyapan Hatrany! Aku takjub sekali. Bagaimana kau melakukannya?" Dia mendekatkan wajah, Asher mendesis kesal.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now