XXXVII. Penyanderaan dan Surat

298 77 9
                                    

"... atau kau ingin batuk darah seperti yang terjadi pada Fenrik?" lanjut Sharley. Kiaza menjadi sangat marah, ia melayangkan tamparan pada Sharley. Tetapi tamparan itu tak sampai karena sebuah tangan kokoh menahannya. Gadis itu melirik, melihat Achilles yang menahan Kiaza. Matanya berkilat merah dan taring vampirnya keluar. Sudut bibirnya bergetar aneh, menahan gelak tawa dan amarah. Napas dinginnya menyapu telinga Sharley dan Kiaza.

"Kau pikir aku tak membiarkannya, Kiaza? Sejak awal aku tahu dia adalah putri kerajaan Noctis, tapi aku tetap diam untuk mengetahui tujuannya. Begitu mengetahuinya, aku tersadar bahwa kau telah menjebaknya. Jadi mana mungkin aku akan diam melihat nyawa-nyawa tak bersalah ini mati. Ah, aku juga bisa mati. Mau bagaimanapun, kekuatan keluarga kerajaan itu tiada tanding. Aku tak bisa membiarkan mereka dan diriku mati." Dia tersenyum simpul.

Sharley cukup terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari Achilles. Sejak awal, ternyata Achilles tak ingin menyakiti mereka. Ia mencengkeram tongkat kuat-kuat, mendadak merasa bodoh dan malu.

Achilles memundurkan kaki, tangannya dimasukkan ke saku. "Sekarang, berjanjilah."

"Kurang ajar! Berani-beraninya kalian mempermainkanku?!" teriak Kiaza. Tak ada lagi sosok cantik yang membuat air liur menetes. Hanya ada sosok wanita yang marah karena permainannya dibalikkan. Dia mengulurkan tangan, berniat mencekik Sharley, tapi sedetik kemudian mulutnya memuntahkan darah segar.

"Yang Mulia!" Si merpati terbang mendekat. Kiaza menunduk, darah tanpa henti keluar dan membasahi gaun mewahnya. Suara batuknya lebih parah dibanding Fenrik, dan darahnya juga lebih banyak. Itu menandakan betapa kuat hasrat Kiaza membunuh mereka.

Sharley merinding. Dia tak menyangka sosok yang seperti cangkir kosong ini ternyata menyimpan kebencian lebih banyak dibanding Fenrik. Dia segera meneguhkan hati. Sejak awal, spirit adalah makhluk yang seperti ini. Permainan kelicikan dan siasat mereka seperti kartu yang dapat dikeluarkan kapan saja. Tidak ada spirit yang benar-benar baik ataupun jahat.

Mereka adalah entitas abu-abu. Yang harus menepati janji, meskipun itu tak adil bagi mereka. Entitas keabadian yang menyaksikan segalanya, sekaligus tak pernah berbuat apa-apa.

Kiaza berjongkok. Gaun, tangan, dan wajahnya penuh dengan darah. Dia berteriak kesakitan, mencakar-cakar leher dengan kuku yang lumayan tajam. Si merpati berkaok-kaok panik, tapi tahu jika itu takkan berhenti sebelum Kiaza mengucapkan sumpah. "Ayolah, Yang Mulia, ini demi Anda," rengek merpati.

Kiaza melotot. Dia sekarat, tapi masih sempat-sempatnya memarahi burung. "Aku tak sudi ditundukkan oleh bocah-bocah ini. Aku tak mau berurusan dengan mereka!"

Dibanding berjuang melawan Luca, dia lebih suka berleha-leha sambil menonton semua kejadian di Hyacintho. Dia jijik berurusan dengan orang-orang. Dia adalah spirit, makhluk agung ciptaan Yang Maha Kuasa, tentu tak sepadan dengan manusia.

"Jika itu yang kau inginkan, kau akan menderita selamanya," ujar Sharley.

Kiaza terbelalak, mendongak pada Sharley yang berwajah dingin. "Ini tidak adil. Kau curang! Tapi kenapa hanya aku yang begini?"

Sharley mengangkat alis sambil membelai tongkat. "Curang dari sisi mananya ya? Kau menginginkanku untuk membawa kembali tongkat ini. Jadi, aku membawanya. Aku sama sekali tak curang. Di sini kaulah yang picik. Kau menginginkan kami dan Deverell mati. Tongkat ini tak pernah dicuri. Hei, malaikat pun tahu jika kaulah yang bersalah. Aku hanya mengikuti keinginanmu, tahu."

Kiaza menggigit bibir. Sharley kembali tersenyum dan itu mencapai matanya. Kiaza merasakan seluruh badannya gemetar bukan main. Ia dicambuki oleh sesuatu yang tak kasat mata, tapi lebih menyakitkan dibanding cambuk biasa. Itu seperti dilumuri ter panas dan berbagai jenis racun.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now