VIII. Sosok si Makhluk Kegelapan

379 88 11
                                    

Mereka terengah-engah, peluh menguncur cukup deras sementara udara begitu pengap karena hidung tertutup kain. Kaki Sharley luar biasa pegalnya, tapi dia tak bisa ambruk di sini dan jadi gotongan yang lain. Asher turun, melipat sayap dan menghilangkan busur. Dia paling banyak menghabisi para monster sementara Sharley, Cleon, dan Rezvon fokus ke depan.

Mereka melepaskan kain lantas membuangnya ke jejalin daun dan kayu-kayu. Beberapa bayi monster jelek meringkuk di pojokan sarang, mendesis-desis rendah pada mereka tapi tak berani menyerang. Sarang-sarang itu berada di bawah pohon-pohon besar yang rimbun dan nyaman, tapi tampaknya tak dapat mengusir suhu dingin. Mungkin para monster memiliki kekebalan tubuh. Sharley mengangkat bahu, tak peduli. Meski jumlah sarang teramat banyak, bukan itu urusannya sekarang.

Mereka memperhatikan bangunan di depan dengan terpana. Bangunan tua itu sudah runtuh setengahnya, terbuat dari batu yang sudah berjamur dimakan waktu. Dari bekas-bekas pilar dan pintu super besar, kemungkinan dulu ini adalah kastil. Tingginya mencapai kurang lebih tujuh ratus meter. Atapnya hanya setengah yang tersisa, meski retak-retak di sana-sini.

Reruntuhan tertumpuk di tanah, menjadi tempat tinggal serangga seperti kelabang. Aula depan praktis terbuka tanpa atap, selarik sinar matahari menyinari lukisan jelek yang sudah tak bisa dikenali rupanya. Pintu mengeropos termakan rayap, berderit memilukan saat ditampar angin. Tak terlihat ujung kastil, tapi mungkin itu sudah menjadi reruntuhan pula. Sulur-sulur tanaman berduri merambat di mana-mana, mengurung kastil seperti tak mau melepaskannya.

"Seram juga," celutuk Cleon, menepuk-nepuk jaket yang ternoda darah. Sharley berjongkok, lututnya kesusahan menyangga berat badan dan terlalu ketakutan. Di dalam sana, ada Luca. Aku belum siap. Sharley mengusap wajah, sadar ini bukan persoalan ia sudah siap atau belum.

Rezvon membantu Sharley berdiri. "Luca ada di ruangan utama, letaknya cukup jauh. Kastil ini melebihi besarnya kastil Kristal Bulan Biru dan merupakan bekas Luca tinggal dulu."

"Dia dikurung di rumahnya sendiri," balas Asher. "Terdengar menyenangkan dan nyaman dibanding dikurung di gua panas dekat gunung," kata Rezvon. "Sepertinya ini bukan waktu bercanda. Kita harus menemukan ruangan itu. Kastil Kristal Bulan Biru saja besarnya bukan main dan mengalahkan semua kastil di Hyacintho dan Clexarius, apalagi ini?" sahut Sharley, berusaha menenangkan diri. Kakinya berjalan di undakan batu, memandang patung kuda di atas pilar yang menatapnya tajam. Terlepas dari patung itu telah kehilangan ekornya.

"Bisa menghabiskan setengah hari untuk mencarinya, tapi aku bisa melakukannya lebih cepat," balas Cleon, lantas berubah ke wujud serigala. Dia berlari-lari kecil di sepanjang kastil, moncongnya mengendus-endus sekitar sementara ekornya melambai-lambai ringan. Bulu Cleon si Serigala banyak ternodai darah, tapi ia tak peduli dan fokus pada pencarian.

Cleon menyundul pintu maha besar. Bunyi deritannya semakin keras dan sebelum Sharley dapat mencerna apa yang terjadi, pintu itu ambruk. Berdebum keras sampai bulu-bulu Cleon berdiri tegak. Mereka melongo, Cleon menatap dan mengisyaratkan itu bukan salahnya.

Rezvon berdehem. "Mungkin sudah saatnya itu roboh. Jangan dipikirkan, terus maju saja."

Cleon mengangguk. Mereka melewati aula, Sharley berjengit saat kalajengking melewati mereka tanpa minat. Dia berusaha berdiri tegak di tengah banyaknya serangga menjijikkan, sekalipun wacana kabur lebih menggoda. Sementara para pria tampak seteguh baja. Sharley iri.

Sembari mengikuti Cleon, Sharley memperhatikan reruntuhan. Kastil ini jelas menyimpan kemewahan di masa lalu, kemewahan yang bersinar-bersinar dan menunjukkan ke negeri bahwa Luca adalah sosok terkaya dan penguasa di atas penguasa.

Namun Sharley tahu, di prosesnya, ada budak-budak yang dipekerjakan. Batu-batu ini diangkat dan disusun oleh mereka yang kurus kerempeng, berkeringat deras karena panas dan kulit terbakar. Mereka tak punya pilihan lain. Tak ada yang akan membela budak. Tak ada yang mengasihani mereka. Meski berurai air mata, meski sayat demi sayat terpatri, meski harus mencium kaki Luca demi mendapat sesuap nasi, mereka tak pernah menyerah. Percaya jika suatu hari bakal ada manusia baik yang menolong.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن