XXXVIII. Deklarasi Perang

284 77 3
                                    

Sharley mengaduk-aduk makanan penekuknya dengan tak berselera. Rezvon menyuruh mereka untuk makan siang, tapi tak ada satupun yang menyantap lahap makanan mewah yang tersaji di meja. Bagi Blaine, Floretta, dan Esmund itu adalah makanan yang terlalu mewah untuk mereka temui apalagi makan, tapi mereka hanya menatap piring masing-masing tanpa minat.

Klang!

Sharley melempar garpunya dan mengumpat keras. Tak peduli ada pelayan yang berdiri di belakang kursi. Mukanya menunduk, kemudian mendongak untuk sekadar manahan air mata. Dia menahan hasrat untuk membalikkan meja ini dan menghancurkan istana.

Kepala Sharley mau pecah. Dia pikir surat perang dari Luca saja sudah sangat buruk. Ternyata ada sesuatu yang sama buruk dibanding itu. Dia tak sempat memikirkan siapa yang membangunkan Luca selama ini. Siapa sangka kalau itu ternyata pamannya sendiri.

Sharley mengingat perkataan ayahnya.

"Dia begitu karena dengki. Sejak kecil, dia selalu dibanding-bandingkan denganku. Aku tak pernah menyangka rasa irinya sebesar itu. Aku sudah ... sudah berusaha selalu ada di sampingnya. Kupikir dia baik-baik saja. Tapi ternyata, semakin aku mendampinginya, dia semakin benci."

Sharley pernah mendengar cerita itu di awal pertemuannya dengan Aldrich. Aldrich berkata jika dia sangat iri pada Rezvon, tapi dia segera berkata jika Rezvon adalah kakak yang selalu mendampinginya sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sharley menghela napas. Dia menyadari itu ternyata bohong.

Gadis itu menatap penekuknya dan mengerutkan kening. Aldrich sudah memendam kebenciannya selama bertahun-tahun. Baginya Rezvon dan Sharley adalah penghalang. Dia harus menyingkirkan mereka berdua untuk naik ke tahta.

Sharley mengepalkan tangan. Dia pikir Luca bukanlah jawaban yang bagus. Tetapi sekarang pun sudah terlambat. Dia pikir takkan ada yang bisa menyadarkan Aldrich. Bahkan Lamia. Wanita yang dicintai Aldrich.

"Tidak." Sharley menyeringai. Dia sadar satu hal. "Kau tak mencintainya, paman. Kau hanya menginginkan anak darinya. Anak yang akan mewarisi tahtamu. Kau menunggu cukup lama." Sharley tak dapat memikirkan betapa hancurnya Lamia sekarang. Rezvon bilang Lamia tak bisa diganggu, dia butuh waktu sendiri. Maka, Sharley menurut. Dia takkan menganggu bibinya.

"Hanya karena iri, Baginda Aldrich sampai begitu ...," guman Esmund. Dia mendorong makanannya. Semua juga ikut-ikutan. Mereka tak tergoda dengan bau makanan yang sangat sedap.

"Dia menahannya sangat lama. Dia bersabar sampai pada waktunya. Itu ... haruskah aku memujinya?" balas Cleon sembari meneguk segelas air hangat. Ia merasa kerongkongan kaget karena mendapat air hangat tiba-tiba. Pasalnya, Cleon lebih suka air dingin.

"Boleh, jika kau ingin pisau ini menancap di kepalamu," jawab Sharley sinis. Putri itu benar-benar marah. Semua menunduk takut, aura dan cara bicara Sharley mirip sekali dengan Rezvon. Tidak ada yang bisa membantah Sharley saat ini.

Mereka terdiam cukup lama. Hawa ruangan menurun tanpa sebab. Kaki para pelayan kebas, tapi bukan karena lelah, melainkan getir. Yang lain merasakan tombak es menancapi diri mereka, dan itu berasal dari tatapan tajam ala burung hantu Sharley. Dan tangan mereka berkeringat dingin.

Sharley menghembuskan napas. Ia sudah menakut-nakuti mereka. Ia menyandarkan badan ke kursi. "Maaf, aku terdengar kejam tadi," katanya.

"Tidak apa-apa kok, Tuan Putri. Kami tahu Anda sangat emosi. Beliau 'kan keluarga Anda, jadi wajar Anda marah karena beliau berkhianat," sanggah Floretta sambil tersenyum canggung.

"Putriku." Rezvon melangkah masuk tanpa mengetuk pintu. Teman-teman Sharley dan pelayan membungkuk hormat. Sharley berdiri, ayahnya berpakaian ala ksatria yang siap terjun ke medan perang. Rezvon tersenyum, tapi lagi-lagi itu terkesan dipaksakan.

The Eternal Country (4) : The Being of Darkness (√) Where stories live. Discover now