58 - Pulang

629 83 28
                                    

Kematian itu pasti, sedihnya yang tidak akan hilang satu hari.
Penyesalan menanti, menjadi saksi yang membenarkan bahwa dirinya berarti.
Hari kemarin tertulis sebagai lembar kenangan di hari ini, tapi esok? Hanya akan menjadi bayangan mengerikan tentangnya yang pergi.

***

Bendera kuning khas dengan berita paling mengerikan yang harus diterima oleh siapa pun. Mau tak mau, siap tak siap, kematian memanglah takdir tidak terhindarkan. Menjadikan manusia rentan, memukul dengan fakta paling dekat, tapi sering terlupakan.

Nyatanya, meskipun pasti, tidak semua manusia sadar dan bisa menerima begitu saja saat kematian menghampiri.

Aletta benar-benar meninggal dunia. Itu adalah kenyataannya.

Gema masih tidak menyangka dengan apa yang ia lihat. Rumah Aletta berada beberapa blok dari rumahnya, berada di bagian paling pinggir kompleks. Hijau dan asri. Taman di halaman depannya terawat rapi. Rasanya menenangkan berada di rumah itu. Tenang, jika saja embusan angin tidak semakin menjelaskan bagaimana keadaan Aletta. Bendera berwarna kuning nan tipis itu berkibar lembut.
Beberapa jajaran bunga berbagai warna dengan ucapan belasungkawa memenuhi halaman. Mengiringi kepergian Aletta dengan kumpulan orang-orang yang ikut berkabung.

Barisan kursi dipenuhi tamu dengan pakaian putih dan hitam. Dua warna yang membenarkan tentang kematian.

"Ini pasti bohong, kan?" tanya Gema masih berdiri di luar gerbang. Bersama Digo di sampingnya.

Kepala sekolah, wali kelas dan Farel sudah masuk lebih dulu. Melewati gerbang terbuka yang justru tidak ingin dilewati oleh Gema.

"Lo harus tenang, kita lagi ada di rumah duka, Ma."

Dengan cepat Gema langsung menoleh ke arah Digo. Kedua tangannya terkepal di masing-masing sisi. Matanya nyaris keluar dari sarangnya. "Rumah duka gimana maksud lo? Aletta gak mungkin pergi!" sergahnya tidak terima.

Bisa dibilang Digo cukup mengerti apa yang dirasakan oleh Gema. Meskipun ia tidak bisa mendefinisikan pastinya bagaimana. Gema yang selama ini bersikap semaunya pada Aletta merasa bersalah saat gadis itu mengalami kecelakaan hebat. Dimulai dari sana, Gema memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki semuanya. Mulai dari memperlakukan Aletta dengan lebih baik, dan lebih memperhatikan gadis itu.

Mendapatkan kabar kematian Aletta membuat Gema kehilangan tujuan awalnya. Ia baru saja akan memulai, tapi sudah dipaksa untuk berhenti. Aletta pergi tanpa Gema sempat melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya.

"Lo gak bisa kaya gini, Ma. Bukan lo doang, gue sama temen-temen juga sedih denger kabar ini. Tapi tetep aja kita semua gak bisa apa-apa lagi. Aletta udah pergi, lo harus terima hal itu."

"Gak!" tukas Gema cepat. "Tadi pagi gue masih ketemu sama Aletta dan dia baik-baik aja. Ini pasti—"

Belum sempat Gema menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Tentulah Digo pelakunya. Membuat bola mata Gema membesar.

"Pasti apa? Prank? Orang goblok mana sih yang mau malsuin kematian seseorang? Yang kaya gitu gak mungkin terjadi di kehidupan Aletta, Ma. Dia orang baik. Terlalu kejam kalo harus dapet perlakuan kaya gitu."

Tamparan itu secara tidak langsung menyadarkan Gema bahwa ia tidak sedang mengalami mimpi buruk. Aletta benar-benar sudah pergi, dan ia berada di depan rumahnya.

"Kita masuk sekarang," kata Digo menarik paksa tangan Gema.

Keduanya melewati jajaran bunga, barisan kursi yang dipenuhi para tamu, dan berakhir di ruangan luas yang dipenuhi banyak orang yang sedang membacakan doa. Sesuatu yang berada di tengah orang-orang itu menarik perhatian Gema.

Gema & Kurcaci Dari Pluto (COMPLETE)Where stories live. Discover now