12 - Persamaan?

410 89 8
                                    

Manusia dan alien itu tidak akan pernah sama.
-Gema

***

"Tante, aku pamit pulang dulu."

Aletta mengulurkan tangannya pada Mama Gema, disambut wanita itu dengan hangat. Gema berdiri di antara keduanya. Memperhatikan mamanya yang terlihat begitu menyukai Aletta. Padahal kan mereka baru bertemu.

"Kok cepet banget, pulangnya. Ini kan masih sore, pulangnya nanti aja."

Mendengar ucapan mama Gema, Aletta melongokan kepalanya ke arah langit yang sudah berubah warna menjadi kemerahan. Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah akan pulang ke peraduannya. Langit yang tadinya biru, sudah berubah menjadi jingga. Berbaur dengan merah matahari yang hampir tenggelam. Dan wanita itu bilang kalau ini masih belum cukup sore?

Aletta menggeleng kikuk. "Aku takut Bunda khawatir kalo aku belum pulang sampe maghrib." Dibenarkan oleh Gema dengan mengangkat telunjuknya semangat.

"Bener tuh, Ma. Apalagi kalo sampe kaum Alien yang lain nyariin dia. Pasti ribet banget." Tidak sadar bahwa untuk pertama kalinya, ia setuju dengan perkataan Aletta.

Mama Gema melotot marah. Dibalas kekehan ringan oleh Gema. Mungkin sudah biasa memperlakukan Aletta seperti itu, sehingga ia tidak peduli jika sedang berada di hadapan mamanya sekalipun.

"Kalo gitu aku pamit ya, Tan. Assalamualaikum."

Aletta mulai menuruni beberapa anak tangga. Beberapa buku yang tadi ia bawa ia peluk di depan tubuhnya. Bersama dengan benda kecil milik Gema yang turut serta dalam kepalannya.

Sampai di halaman, ia menoleh lagi.
"Gema, besok mau aku jemput gak ke sekolah?" teriaknya.

"Gak perlu," sahut Gema malas. Mana mungkin ia mau, kan?

"Oke, nanti aku tunggu di gerbang kompleks. Dadah!"

Aletta mengayunkan tangannya. Senyuman lebar ia perlihatkan sebagai bentuk salam perpisahan. Satu jam lebih menghabiskan waktu berdekatan dengan Gema menjadi hal yang tidak akan ia lupakan seumur hidupnya. Hari ini akan ia catat sebagai hari bersejarah. Hari di mana dirinya mengerjakan tugas kelompok di rumah Gema. Hanya berdua saja dengan cowok itu.

Ahh, rasanya tadi itu menyenangkan sekali.

Aletta berulang kali memekik kesenangan dalam hati. Walaupun waktu satu jam itu hanya diisi dengan tugas sih. Gema jarang berbicara. Hanya dirinya yang lebih dominan mengajak ngobrol, dan lebih sering tidak ditanggapi. Selebihnya benar-benar mengerjakan tugas. Mungkin karena Gema fokus, tugas juga jadi lebih cepat selesainya.

Padahal tujuan utama Aletta mendatangi rumahnya sembilan puluh persen ingin mengobrol dengan Gema. Ia berpikir bahwa sifat Gema jika berada di rumah mungkin saja akan berbeda. Ternyata sama saja. Cowok itu tidak lebih dari, teman sekelasnya. Itu saja.

"Heh! Sampe flashdisk gue rusak apalagi ilang. Lo bakal gue usir dari bangku di samping gue." Gema berteriak saat Aletta sudah hampir sampai di gerbang. Gadis itu menoleh dan mengangkat tangan kanannya untuk membentuk lingkaran dari jari telunjuk dan jempolnya. Memberi kode bahwa ia mengerti ucapan Gema, serta menjamin bahwa hal seperti yang Gema khawatirkan tidak akan terjadi.

Aletta membuka gerbang kecil dan pergi tanpa menoleh lagi. Hilang dari pandangan dua orang yang memperhatikannya.

"Dia lucu, ya?" puji mama Gema tiba-tiba. Membuat Gema mengernyitkan dahinya dengan wajah jijik.

"Gak. Dia itu gak lucu. Dia itu cuma makhluk aneh yang entah gimana bisa duduk sebangku sama Gema." Elak Gema berapi-api.

Ia masuk ke dalam rumah. Mamanya mengekor di belakang kemudian memegang kedua bahunya. "Perempuan itu gak boleh dikasarin. Kamu jangan galak-galak sama Aletta. Nanti jadi suka." Pesannya tulus. Sekilas saja melihat Aletta, ia tahu bahwa Aletta merupakan gadis yang baik. Tidak salah jika harus mendapatkan perlakuan yang baik pula.

"Ma," tukas Gema. Ia menghentikan langkah, melepaskan tangan mamanya lalu memutar tubuh. "Please ... jangan kuno kaya gitu. Gak semua hal klise di sinetron itu bakal kejadian juga di kehidupan nyata. Aku sama Aletta cuma temen sekelas aja. Gak usah ngomongin hal aneh itu."

Ya, dan ke depannya pun akan selalu demikian. Kelakuan tidak jelas Aletta yang mencari-cari perhatian itu tidak akan pernah mengusiknya. Tidak akan pernah mengubah sikapnya. Ia dan Aletta hanya dua manusia yang memiliki kepribadian sangat jauh berbeda. Tidak mungkin bisa akur walaupun ia tidak bisa menikahi Angelina Jolie nantinya.

"Tapi kamu tetep gak boleh bersikap kaya gitu sama dia. Dia itu perempuan, lho!" Mamanya berusaha meyakinkan, tapi Gema tetap tidak ingin menerima.
Perempuan dan laki-laki itu sudah setara di jaman ini. Tidak seharusnya membedakan keduanya hanya karena hal sepele.

"Dari awal juga aku gak berpikir kalo dia itu cowok. Emangnya aku bego gak bisa bedain mana cowok mana cewek?"

Mamanya terkekeh geli. Putera tunggalnya itu memang lucu sekali.
"Kamu tau pasti apa yang Mama maksud." Ujarnya mengusap kepala Gema sayang.

Gema menyingkirkan tangan mamanya pelan. Tidak ingin bersikap kasar meskipun dalam lubuk hatinya, ia berharap kalau Aletta tidak perlu hadir di dunia ini. "Udah, ah. Ngapain sih bahas itu Alien mulu. Gak penting tau." Ia memutar tubuhnya lagi untuk menuju kamarnya, tapi satu kalimat dari mamanya berhasil membuatnya kembali menghentikan langkah.

"Tapi menurut penerawangan mama, kamu itu bakal deket sama Aletta. Percaya deh."

Wanita itu memejamkan matanya. Seolah-olah apa yang dikatakannya memang benar hasil penerawangan.

Ah, rupanya dari sini sifat humoris Gema berasal.

"Mama!" pekik Gema. "Pokoknya kita gak ngomong sampe besok pagi!" ancam Gema berlalu begitu saja.

Tawa nyaring menyambut telinganya tak lama kemudian. Ia berhenti tepat di depan pintu saat mamanya kembali berbicara. Mengucapkan satu kalimat yang berhasil membuat giginya bergemeletuk.

"Aletta itu mirip dia ya, Gema?"

Sekuat mungkin Gema menahan diri agar pintu kamarnya tidak ia banting hanya untuk menyangkal hal itu. Mirip apanya? Demi Tuhan! Aletta itu tidak pantas disamakan dengan dia. Sosok gadis sempurna yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.

Di dunia ini, memang ada beberapa manusia yang terlihat mirip. Entah itu dari wajah atau kepribadiannya. Tapi Gema tidak menyukai bahwa Aletta disamakan dengan dia. Dari sudut mana pun, mereka tidak ada mirip-miripnya sama sekali. Lagi pula kenapa mamanya bisa berkata seperti itu.

Setelah semua perjuangan dan waktu yang ia habiskan untuk bisa melupakan, mamanya justru seolah mengatakan jika apa yang ia inginkan tepat berada di hadapan. Aletta dijadikan pancingan agar dirinya merasakan ketertarikan. Tapi nyatanya tidak sesederhana itu. Ia tidak menyukai Aletta.

Ahh, kenapa juga pikirannya harus bercabang seperti ini?

Gema melangkahkan kakinya menuju taman miliknya. Karena tadi ada Aletta, ia jadi tidak sempat mengandangi peliharaannya. Diliriknya kelinci-kelinci yang sedang berlarian itu. Dua di dekat kolam, empat lainnya berpencar di rerumputan. Ia memasukkan tiga kelinci di kandang, tiga lainnya ia masukkan ke kandang satunya lagi. Setelah mengunci dua kandang itu, ia kembali ke kamarnya.

"Gigi!" panggilnya diiringi siulan.
Anjing dengan bulu berwarna cokelat putih yang sedang rebahan di rumput itu bangun dan mengikuti Gema. Satu persatu jendela ia tutup, begitu juga pintu di bagian tengah.

Kamarnya memang sengaja tidak dilengkapi gorden jendela. Selain agar sinat rembulan bisa masuk, juga agar dirinya bisa melihat tamannya dari dalam. Karena di sana hewan-hewan yang sudah seperti anaknya itu tinggal.

***

Rindu aja sama Gema. Entah udah berapa bulan gak up. Hehe

Gema & Kurcaci Dari Pluto (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang