BAB 35 SEANDAINYA MUDAH DILAKUKAN

7 1 0
                                    

Sepintas aku seperti merasakan ada seseorang mengelus pipiku dengan lembut.

"Kak Chan!" Seruku dengan mata terbelalak, dan tubuh beranjak sampai posisi terduduk di sova. Aku sepertinya semakin frustasi, Aku kembali bermimpi sesaat tentang Kak Chan.

Jantungku berdetak lebih cepat, membuatku harus terdiam sejenak. Dengan sedikit sempoyongan aku mengambil teh yang dibuatkan mbak Ina yang sudah menjadi dingin dan belum sempat aku minum.

Setelah meminumnya setengah gelas, aku merasa sedikit lebih lega.

Aku melihat ke arah jam weker, masih jam 7 pagi.

Aku membuka tirai jendelaku, melihat kebawah jalanan yang sepi, para polisi dan wartawan sepertinya tak ada lagi.

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin jalan- jalan di taman komplek.

Semoga bisa membuatku sedikit lebih rileks. Segera aku bergegas ke kamar mandi, ganti baju dan turun kebawah.

Aku melihat mbak Ina sendirian di dapur, aku tidak melihat mama membantu disana.

Akhirnya akupun hanya pamitan ke mbak Ina, mengatakan ingin jalan-jalan sebentar.

Aku berjalan sendiri dengan lunglai di jalan.

Taman yang akan aku tuju jaraknya tidak kurang dari 100 meter.

Aku tidak punya daya untuk berlari, aku memilih berjalan pelan hanya ingin menghirup udara segar, terus berharap mampu membantu pikiranku yang kalut.

Lelah rasanya menangis terus, tapi sesaknya seolah masih saja tertinggal, padahal mataku sudah sembab membengkak. Tetap saja sesekali air mataku menetes.

Aku selalu berusaha mengalihkan pikiranku untuk tidak memikirkan tentang kak Chan, organisasi hitamnya, masa lalu itu, dan terutama perasaanku. Tapi semakin ku tolak semakin muncul bertubi-tubi berebut berbagi.

Jika bisa ingin rasanya aku amnesia saja untuk melupakan semua yang terjadi.

Dulu aku ingin sekali bertemu kak Chan, ingin tahu alasannya meninggalkanku, tapi setelah aku tahu alasannya walaupun mendengar dari mulut orang lain, keinginanku bertemu dengannya sekarang justru diiringi dengan ketakutan dan rasa bersalah yang semakin kuat, bahkan membuatku mendadak muncul perasaan belum siap bertemu dengan kak Chan meskipun tetap sangat ingin bertemu dengannya, aneh ingin tak ingin, dilema tidak jelas.

Tak terasa dengan melamun dan berjalan pelan, aku sudah berada di taman yang tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi, hanya ada beberapa orang yang berlarian, maupun duduk-duduk dibangku taman.

Untuk menghilangkan rasa sesak dan gunda di hatiku, aku mencoba berlari memutari taman beberapa kali.

Keringat sudah mulai bercucuran, tapi ternyata batinku masih nyeri berdesir, semakin sesak, dan aku menyadari ternyata tidak membantu sama sekali. Hanya menyisakan napas yang memburu.

Tidak kuat, akupun memilih untuk duduk di bangku taman.

Aku berusaha mengatur napasku.

"Tuhan perasaan apa ini? Bagaimana aku menghilangkannya?" Aku menyeka keringatku dengan handuk kecil.

Apakah aku harus berteriak sekencangnya?

Tiba-tiba seseorang datang menyodorkan sebotol minuman ke hadapanku, dan membuatku seketika sedikit tersentak dari lamunan panjangku.

Spontan aku menoleh, memperhatikan sosok yang sedang duduk disebelahku, lelaki berbadan tinggi, berkulit putih memakai baju dan celana hitam, ditambah kacamata hitam dan topi hitam sebagai aksesoris wajah dan kepalanya.

Tangisan HujanWhere stories live. Discover now