BAB 34 BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI.

8 1 0
                                    

Aku menangis sesenggukkan menutup kedua telingaku, aku ingin semua ucapan itu berhenti terngiang di kepalaku.

"Cuuukuuuupp..!hikks.."

"Cukuuuuppp..." Pintaku sesenggukan sendiri.

Aku meminggirkan mobilku di jalanan yang sepi.

Pikiranku, hatiku, batinku, sedang dihakimi oleh diriku sendiri.

Seperti tuduhan bertubi-tubi yang menyerangku tiada ampun.

Gara-gara aku kak Chan hidupnya hancur, gara-gara keegoisanku mencari mama, kak Chan melakukan segala cara.

Bagaimana aku bisa memaafkan kesalahan diri sendiri yang fatal?Rasanya aku mulai membenci diriku sendiri.

Hujan turun dengan deras membasahi mobilku, hujan dan tangisku senada, mengeluarkan butiran-butiran air berjatuhan.

Sebanyak apapun aku mengeluarkan air mataku, rasa sesak di dadaku tidak sedikitpun berkurang, apalagi setelah aku mengetahui jawaban dari salah satu pertanyaan terbesarku. Alasan Kak Chan meninggalkanku, dan ternyata jawabannya berhubungan dengan kesalahanku.

Entah berapa lama aku menangis sendiri, menempelkan wajahku di stir kemudi, mataku sembab, hidung manpet, aku sampai harus bernafas dari mulut.

Jalanan masih sepi, hanya satu dua kendaraan. Sepintas aku teringat lagi akan papa Dirga dan mama Nenci.

Dengan sesenggukkan, aku menghidupkan ponselku. Setelah melihat begitu banyak panggilan telepon, aku kembali mematikan ponselku dan menstater mobilku kembali. Aku harus pulang.

Beberapa meter dari arah rumah, aku melihat 2 mobil polisi bersirine sedang terparkir di pinggir jalan. Di sisi berlawanan ada beberapa polisi yang mondar mandir, mengobrol, atau sibuk berkomunikasi.

"Ada apa ini?"gumamku sendiri.

Aku meraih ponselku, menghidupkannya dan mencoba menghubungi papa Dirga.

"Halo pa.." sapaku lirih berusaha agar suaraku tidak terdengar habis menangis.

"Nak, kamu?akhirnya papa dengar suaramu. Kamu dimana nak?" Tanya Papa Dirga dengan suara bergetar.

"Bisa minta tolong pa?supaya Pak deden membuka pintu garasi jalan pintas. Banyak polisi dan wartawan disini, pa.."

"Oo oke-oke nak.."

Tut tut tut.

Aku kembali mematikan ponselku, padahal sepertinya, papa masih ingin berbicara, tapi aku sedang tidak ingin banyak bicara.

Mungkin itulah salah satu kebiasaanku, jika sedang tidak ingin diganggu, aku menonaktifkan ponselku dan menghidupkannya jika benar-benar perlu untuk menghubungi seseorang

Aku membelokkan mobilku ke kiri masul ke sebuah jalan yang hanya muat untuk 1 mobil. Beberapa meter kemudian aku membelokkan mobilku ke kanan dan masuk ke dalam garasi seperti biasa, diikuti anggukan kepala Pak Deden.

Aku mematikan mesin mobilku, menghela napas sebentar dan keluar dari mobil,berjalan masuk ke dalam dapur melalui pintu darurat.

"Non El.." Sapa mbak Ina.

"Ssstttt.." Aku memberi kode dengan mengatupkan kedua bibirku dengan jari telunjukku.

Mbak Ina spontan mengikuti gayaku.

"Ehh.."

"Non El dari mana?Sampai lesu gitu wajahnya?"

"Apa diculik lagi?Non berhasil melepaskan diri.."

Aku hanya bergeleng pelan.

"Aku bikinin teh anget yaa non.."

Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju ruang tengah, aku mencoba mengintip ke depan, masih ada 2 polisi yang berbincang dengan papa, tapi tidak lama kemudian kedua polisi itu pergi.

Tangisan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang