Bab 30 Kenangan Hujan

13 1 3
                                    

Aku lagi-lagi di buat terpaku, tapi kali ini oleh kedua lelaki di hadapanku. "Kalian saling kenal?" tanyaku menyelidik. "Ya El.." jawab Miko menghampiriku. Tama hanya mengangguk. "Dunia sempit!" gumamku.
"Jadi gini, awal mula kita kenal waktu mobil aku pernah mogok ditengah jalan. Terus ada Iraz datang menghampiri, sekaligus memberi bantuan. Mobilku ada masalah di sistem bahan bakarnya. Jarang-jarang di Jakarta nemu orang baik seperti dia, kebanyakkan kan modus." Miko menjelaskan sembari melirikku.
"Senang bertemu lagi.." Miko mengulurkan tangan ke Tama dengan senyuman dan disambut cepat oleh Tama. "Tentu." jawab Tama mantab. Dan aku hanya menjadi penonton di antara mereka.
"Eh bentar kamu kerja di sini?" Tanya Miko sesaat setelah melepaskan jabatan tangannya. Tama mengangguk. "Masih baru.." jawabnya. "Kamu ada keperluan apa Miko?" tanyaku menyela dengan raut wajah tidak sabar. "Kan sudah aku bilang El, kasih sop buah kesukaan kamu,.." jawab Miko santai. "Belum jam makan siang!" protesku ketus. "Ya dimakan nanti kok ribet.." Miko langsung nyelonong masuk ke dalam, berjalan ke arah dapur di ruangan kerjaku dan meletakkan sop buah yang dibawanya ke dalam lemari es. Aku hanya menghela napas kesal.
"Pacar kamu?" tanya Tama hati-hati. "Nggak lah!" jawabku cepat. "Syukurlah.." gumam Tama. "Percakapan kita selesai, aku boleh kembali?" tanya Tama. Aku mengangguk. "Ya" jawabku. "Ehm, jangan lupa laporan di kotak saran dan kritik. Aku belum memastikan, kepala bagian produksi yang lama sudah membuatnya apa belum. Minta tolong di cek.." pintaku. "Oke.." jawab Tama. Sesaat kemudian Tama pamit keluar dari ruanganku sebelum Miko kembali. Entah apa yang dilakukan Miko, hanya meletakkan sop buah saja, lamanya setengah mati. Aku kembali menyimak layar laptopku. Sebuah panggilan masuk dari Vira menghentikanku. "Ya?" jawabku "Bu ada telepon dari Pak Young Djong.." ucap Vira memberi tahu. "Oo oke Vir.." jawabku diikutin bunyi suara Vira menutup saluran teleponnya. "Ya halo.." sapaku ke Pak Young Djong. "Bu Elsa?" jawab lelaki di seberang sana, mencoba meyakinkan bahwa suara yang didengarnya adalah suaraku. "Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. "Syukurlah Bu Elsa sudah masuk kantor lagi" selanya. "Saya sedikit kuatir dengan keadaan Ibu, apa sekarang sudah baik-baik saja..?" tanyanya. Aku tersenyum tipis. "Syukurlah sudah lebih baik Pak," jawabku.
"Oo thanks God, berita tentang hilangnya ibu di rumah sakit benar-benar menjadi berita utama disetiap media,dan membuat kami ikut kuatir." ucap Pak Djong Young.
Aku menghela napas kemudian tersenyum tipis. "Saya sudah baik-baik saja Pak, terima kasih atas perhatiannya." balasku. "Ya, kedengarannya begitu. Oh iya Ibu Elsa, kemarin lusa saya sudah di tunjukkan oleh Pak Dirga desain terbarunya. Perfect! Saya setuju sekali, sesuai dengan yang kami inginkan." puji Pak Djong Young dengan penuh antusias.
"Wahh...senang sekali mendengarnya Pak, terima kasih atas pujiannya. Kami akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk klien kami. Semoga menjadi awal yang baik." balasku tidak kalah semangat.
"Ya sudah Bu Elsa itu saja, yang penting Bu Elsa sudah sehat dan kembali bekerja, saya merasa senang." Pak Djong Young sepertinya sudah ingin mengakhiri pembicaraan.
"Terima kasih perhatiannya Pak.." jawabku.
Beberapa saat kemudian percakapan kami di telepon terputus. Miko sudah duduk santai di sofa dengan minuman kaleng di meja, serius bermain ponselnya. “Mau sampai kapan nungguin orang kerja?" Tanyaku menatap Miko.
"Sampai orangnya sembuh." jawabnya tanpa menatapku, dia lebih memilih terus menatap layar ponselnya. "Aku sudah baik-baik saja.." jawabku. "Itu menurut kamu, bukan menurutku." ujarnya datar. "Aku butuh privasi pekerjaan Miko, aku hargai perhatian kamu, bahkan aku sangat berterima kasih. Tapi, jangan terus-terusan!"
"Jujur aku tidak suka kamu nyelonong datang, disaat aku sedang mendiskusikan pekerjaan dengan salah satu karyawanku. Bagaimana kalau klien penting? Tidak sopan kan dilihatnya" protesku ke Miko.
Miko langsung menatapku dan berjalan menghampiriku, kemudian tepat berdiri di depan meja kerjaku.
"Maaf El, kalau soal nyelonong, aku memang salah, harusnya aku tanya Vira dulu tadi. Aku juga tidak bermaksud membuntuti kamu. Aku cuma berusaha care, aku cuma ingin menjaga kamu El, sampai kamu baik-baik saja.." ucapnya lirih di akhir kalimat. "Aku baik-baik saja Miko!" protesku.

"Kamu akan baik-baik saja saat kamu tidak lagi takut dengan hujan. Saat sesak tidak lagi ada di dalam dadamu." Miko menatapku penuh ketegasan.
Aku hanya terdiam.
"Aku pamit dulu El, jangan lupa sop buahnya dimakan..kamu take care." Miko berjalan pergi menuju pintu ruang kerjaku. Sepertinya dia tersinggung.
Aku langsung terduduk sambil meremas rambutku. Aku benci dengan semua ini. Ketakutanku tentang hujan seolah menjadi kecacatan dalam hidupku. Seandainya aku bisa menghilangkannya. Awalnya hanya perasaan berdesir takut dan gemetar, tapi semakin lama trauma ini membuatku semakin tak berdaya, dulu aku masih bisa mengendalikannya, sekarang tidak bisa. Aku menghela napas dan mengambil segelas air minum di dispenser, meminumnya sampai habis supaya lega.
Setiap kali pikiran dan hatiku kalut, kebiasaanku adalah minum beberapa gelas air dan kemudian aku akan merasa sedikit lega. Aku berjalan menuju jendela kaca di kantorku. Ini tempat favoritku. Aku bisa berdiri mematung cukup lama hanya untuk melihat kendaraan berlalu lalang di bawah, sembari melihat ke arah sekeliling yang penuh dengan bangunan-bangunan tinggi.
*******
"Hujan El, Hujannn...!"seru Kak Chan. "Kita hujan-hujanan yuk.." ajaknya meraih lenganku. Aku menarik lenganku dan bergeleng pelan. "Enggak kak, kak Chan saja, aku disini melihat kak Chan.." jawabku. Kak Chan menghela napas dan menghampiriku. "Kamu ingat mama kamu?"tanya Kak Chan. Aku mengangguk tertunduk dan meneteskan butiran air mata. "Mama kamu pergi disaat hujan kan?" tanya kak Chan lagi. Aku mengangguk dan menghapus air mataku. "Jadi, ada kemungkinan mama kamu juga akan datang disaat hujan tiba El.." ujar Kak Chan penuh keyakinan. "Benarkah?" tanyaku polos menatapnya. "Bisa jadi.." jawab Kak Chan "Ayo El, kita hujan hujanan!" ajaknya menarik lenganku. Aku tetap bergeleng menolak. "Ayoooo!!!" Paksanya sekali lagi. Dengan takut-takut aku mengikuti ajakkannya. "Katakan dalam hatimu El, mama aku ingin engkau kembali, mama yang pergi saat hujan tiba, pasti hujan yang sama akan membawa mama kembali.." Dengan kedua tangan yang menengadah, Kak Chan mencontohkan kepadaku, mengangkat wajahnya ke arah langit sembari menutup kedua matanya, sampai rintik-rintik hujan yang cukup padat tapi tidak terlalu deras membasahi wajahnya. Dengan polosnya aku mengikuti perkataannya. Menengadakan kedua tangan dan mengucapkan harapan mama kembali. Sejak saat itu, setiap kali hujan datang, aku selalu melakukan ritual yang sama, dengan harapan mama segera kembali, seperti sebuah doa di saat hujan tiba.
1 tahun, 2 tahun, bahkan sampai usiaku 14 tahun. Hasilnya NIHIL!

Di taman Panti tempat kami tinggal.
Kak Chan berlarian menghampiriku. "El, kakak baru saja mendapat gaji pertama, kakak seneng banget. Ini buat kamu.." dengan ngos-ngosan kak Chan memberikan sebuah kado dengan ukuran sedang. "Apa ini kak?" tanyaku. "Hadiah buat kamu.." jawabnya. "Buka dong..!" sarannya tidak sabar.
Aku mengangguk, perlahan aku robek kertas kado yang menutupinya. "Tas?" aku tidak percaya, kak Chan memberiku sebuah tas. Tas yang aku inginkan. Tas kulit imitasi berbentuk kepala Mickey Mouse.
"Makasih Kak.." ucapku dengan dada berdebar, ini barang pertama yang diberikan kak Chan kepadaku saat dia sudah mulai bekerja. "Kamu suka?" tanyanya.
Aku mengangguk cepat dengan mata berkaca-kaca dan gemetar bahagia. Tidak lama kemudian hujan datang rintik perlahan. "Hujan El, ayo menepi..." ajak Kak Chan menarik lenganku. "Tapi aku harus melakukan ritual seperti biasa Kak Chan.." tolakku.
"Sudah menepi dulu, nanti tas barumu basah.." Kak Chan langsung menarik lenganku dan spontan aku mengikutinya. "Tapi kak?" selaku tak didengarkan oleh Kak Chan, sampai kami berada di halaman belakang panti. Kak Chan tertawa cekikikan saat melihatku. "Kok malah tertawa?" tanyaku bingung, karena merasa tidak ada yang lucu. "Kamu..ka..mu lugu sekali El.." Jawabnya masih terus tertawa terbahak-bahak. Aku hanya melongo.
"El, maafin kakak sebelumnya..dulu kakak menganjurkan ritual abal-abal itu supaya kamu mau bermain bersama kakak saat hujan turun." Kali ini Kak Chan sudah bisa mengendalikan gelak tawanya. "Jadi kak Chan bohongin aku?" dengusku. "Enggak El, kakak cuma ingin kamu punya harapan" "Disaat takut sekalipun tetaplah berharap. Kakak tahu kamu sedikit takut dengan hujan" Aku masih sedikit kesal, kenapa kak Chan membohongiku, dan kenapa aku terlalu percaya kepadanya.
"El dengerin kakak duduk sini." ajaknya, dan akupun menurutinya. Sesebal apapun, sekesal apapun, aku tetap tidak bisa membencinya, atau mengurangi rasa kagumku kepadanya. Hujan sudah mulai sedikit deras tanpa petir menyambar.
"Setidaknya, kakak gak sepenuhnya berbohong El, kamu tahu proses terjadinya hujan kan? Air menguap karena sinar matahari, kemudian membentuk awan, melayang-layang, kesana kemari.." Kak Chan memperagakan dengan jemari kanannya, aku tersenyum dibuatnya.
"Sampai suatu ketika karena suhu tertentu, awan itu kembali memuai dan membentuk titik-titik air, terus jadi hujan deh. Sebenarnya seperti itulah sebuah harapan dan doa El, saat kita berharap kepada Tuhan dengan hati yang bersih, maka Tuhan yang dibaratkan seperti matahari itu akan mengangkat doa kita tinggi-tinggi kelangit, sampai akhirnya perlu waktu untuk kembali turun kepada kita menjadi butiran-butiran hujan berkat dariNya. Percaya itu El, kakak bukan orang yang baik, tapi kakak belajar percaya, meskipun kebencian dan rasa tidak terima kakak juga terus bertambah, kakak belum bisa berdamai dengan kenyataan hidup. Kakak yakin kamu bisa menerapkannya." ucap Kak Chan menasehatiku sembari menatapku lamat-lamat.
"Kamu terlalu percaya sama kakak.." lanjutnya. "Kakak takut.." kata-katanya terhenti. "Takut apa?" Tanyaku lirih. "Kakak takut mengecewakanmu El, jangan selalu percaya sama kakak.." jawabnya. "Kok?..." Aku tidak mengerti. Hujan sudah mulai reda, tersisa jalanan dan tumbuhan di sekitar yang masih basah
"Sudahlah ayooo kamu masuk. Kakak harus kembali ke kost an, mau segera mandi, gerah,bau, ayoo kamu masuk, nanti Bu Ida marah kalau kamu sering-sering diluar" paksa Kak Chan.
Aku langsung mengangguk, meskipun dengan sebuah tanya akibat ucapan kak Chan. Tapi namanya masih remaja, kata-kata itu menguap begitu saja. Entah kenapa peristiwa itu tiba-tiba muncul dibenakku, seperti sebuah film lama yang telah hilang dan ditemukan kemudian diputar kembali.
"Mungkinkah perkataan itu sebuah signal dari kak Chan bahwa dia akan pergi?" batinku bertanya sendiri.
Aku menghela napas, tak terasa lebih dari 30 menit aku berdiri mematung disini, bukan melihat kendaraan berlalu lalang dibalik jendela kaca tapi melamun. Sampai aku dibuat kaget dengan bunyi ringtone ponselku sendiri. Aku berjalan, kemudian meraihnya.
"Ingat!jangan mengajak siapapun!Datanglah sendiri!Atau Anda tidak dapat melihat kakak anda selamanya.." Tut tut tut
Belum sempat aku menyapa maupun membalas, lelaki ditelepon itu langsung mematikan sambungannya. "Siapa dia sebenarnya?" Pertanyaan itu kembali menghantuiku.

Tangisan HujanWhere stories live. Discover now