1. BERPISAH

217 8 6
                                    


Terdengar gemuruh dari langit bersamaan dengan kilat yang menyambar.  Sontak perasaanku mulai gelisah.Aku yakin, hanya hitungan menit saja, hujan akan segera mengguyur jalanan tanpa terkecuali.

Siklus alam ini, lagi dan lagi tidak bisa kuhindari. Mau tidak mau, sesulit apapun, harus ku hadapi. Tidak sampai hitungan menit, air sudah berjatuhan dari langit, menyerukan bunyi gemerutuk tanda hujan deras. Petirpun tidak mau kalah, ia menyambar bersautan, dengan sesekali diikuti kilat seperti flash kamera.

Aku memegang dadaku sembari mencoba mengatur napas untuk relaksasi. Berharap detak jantungku bisa kembali stabil, sayangnya sensasi desirannya justru semakin menjadi, detak jantungku berdetak lebih cepat, napasku juga kian lama kian berat meskipun aku sudah susah payah mencoba mengaturnya untuk kembali normal.

Keringat membasahi seluruh tubuhku, diikuti dengan kenangan masa lalu yang berputar seperti film. Terasa nyata dan semakin menyakitkan. Rasa takut dan cemas yang sama mulai ambil alih dan tak mampu lagi kutepis. Aku tidak bisa melakukan apapun selain menangis dan berharap sensasi ini berakhir sesegera mungkin.

Sepuluh tahun yang lalu.

Hujan yang sama derasnya membasahi jalanan dan tidak ada kering yang tersisa. Anginpun bertiup kencang dari segala penjuru arah. Pohon-pohon besar yang berdiri kokohpun mulai goyah. Air mulai menggenang dan memenuhi jalan raya, membuat kendaraan yang berlalu lalang harus berjalan perlahan.

Tidak sedikit pengendara motor yang menyerah dan akhirnya memilih untuk menepi. Beberapa pejalan kakipun juga mencari tempat  untuk berteduh.  Ada yang memilih duduk di bangku panjang yang tersedia di pinggiran jalan. Sebagian lagi memilih berdiri melihat sekitar dengan tatapan takut-takut. Ada juga yang sengaja mengobrol demi mengalihkan perasaan, meskipun yang lainnyq justru memilih melamun dengan ekspresi datar.

Angin dengan pekatnya titik-titik air hujan yang lebat itu seolah membentuk kabut yang otomatis mempengaruhi jarak pandang. Lebih dari 10 meter, pandangan sudah buram.

Tepat 10 menit berlalu, setelah orang yang paling aku cintai mengatakan harus pergi tanpa alasan jelas dan hujan  yang semakin deras ini menemaniku yang menangis sesenggukan seorang diri.

"Aku harus pergi El.." demikian ucapnya tersendat, matanya memerah, bibirnya bergetar, jemarinya yang dingin memegang kedua lenganku.
Aku yakin ini bukan keinginannya, ada sesak yang sama dalam tatapan matanya. Aku sangat mengenal Kak Chan, meskipun tetap saja aku tidak bisa mencegah dan tidak paham apa yang menjadi penyebab ia tiba-tiba mengatakan ingin pergi. 

Memang benar, cepat atau lambat perpisahan itu pasti. Tapi aku benci dengan kata perpisahan. Buat apa kami dipertemukan jika akhirnya hanya untuk dipisahkan?

"Aku nggak pantas terus ada di sisi kamu El.." lanjutnya lirih dengan suara bergetar.  Aku terpaku menatapnya, berusaha mencerna, berharap ini mimpi.

"Kamu pasti baik-baik saja tanpaku, percayalah.." kali ini Kak Chan memegang pundakku erat-erat.

"baik-baik saja, maksudnya kamu mau kemana kak?" Akhirnya aku mampu berusara.

Kak Chan tertunduk, ia menurunkan kedua tangannya.

"Kak kamu kenapa?" Giliran aku yang memegang jemarinya.

"Kamu janji kan, apapun yang terjadi, kita nggak akan berpisah?! Kak chan juga janji kan mau bantun cari Mama?!" Aku terus mencoba menatapnya yang memilih menununduk.

“Maaf El,” suaranya masih terdengar lirih, seperti tertahan. Kak Chan melepaskan tanganku.

“Kak Chan harus pergi, kamu jaga diri baik-baik ya,” ucapnya sembari memegang pipiku sesaat. Belum sempat aku membalas ucapannya. Kak Chan sudah berbalik dan lari menjauiku.

Tangisan HujanWhere stories live. Discover now