Chapter 58 - Wanna Kiss Me?

Start from the beginning
                                    

"Aku hanya berkata hal yang jujur, Cassie," tambah Ace seraya melihat bibir Cassandra, lalu melihat mata perempuan itu lagi, setelahnya melihat kembali pada bibir---terus seperti itu.

"What are you staring at?"

"Your lips."

"Umm, wanna kiss?" tanya Cassandra sedikit ragu.

Ace justru menggeleng, "Bukan. Bibirmu pucat sekali. Aku masih merasa khawatir."

Dengan rasa malu dan kecewa Cassandra melarikan pandangannya ke arah lain. Bisa-bisanya di saat seperti ini dan dalam keadaan seperti ini otak mesum Cassandra kumat. Tapi, Ace juga kenapa terlampau jujur sekali? Padahal bisa saja pria itu membenarkan ucapan Cassandra lalu mencium bibirnya. Cassandra yakin, setelah mendapatkan ciuman, bibir Cassandra tidak pucat lagi, justru akan membengkak dan memerah, sehingga dia tidak terlihat seperti orang sakit.

"Setelah ini kau akan dipindahkan ke kamar terbaik yang ada di rumah sakit ini," papar Ace masih setia mengamati wajah Cassandra dari dekat.

"Kenapa tidak langsung pulang? Aku merindukan rumah."

"Kalau kau ingin segera pulang, kau harus sembuh secepatnya."

"Aku sudah sembuh sekarang."

"Tapi kau masih lemah," sangkal Ace.

"Kata siapa?"

"Kataku, barusan."

"Sok tahu."

"Sangat jelas terlihat," kata Ace, kemudian dia memencet hidung Cassandra, berkata lagi, "jangan bandel, ya. Jangan membantah."

Cassandra memanyunkan bibirnya. Melihat itu, Ace merasa gemas. Ingin menciumnya, tapi dia tahan, takutnya nanti keblablasan.

"Ace?"

"Hm?" Ace berdeham menyahuti Cassandra seraya menjilat bibirnya sendiri. Mencoba terlihat tetap tenang, meskipun jantungnya sudah berdetak lebih kencang dari kondisi normal.

"Kau juga terluka." Cassandra menyentuh dengan hati-hati pelipis Ace yang lecet. "Kau butuh penanganan."

"Abaikan, ini hanya luka kecil."

"Balasanmu selalu seperti itu. Kalau luka tusuk di dada dan lebam-lebam di wajahmu kau anggap kecil, lalu luka seperti apa yang besar?"

"Luka yang besar menurutku adalah luka dihatiku yang kudapat saat mengetahui dirimu sedih, kecewa, menangis, kesakitan, dan---"

"Oke, stop."

"Masih harus berapa hari lagi aku berada di sini?" tanya Cassandra memasang raut wajah jenuh dan lelah.

"Sampai dokter mengizinkanmu pulang."

"Ini sudah dua hari," sahut Cassandra memilin-milin selang infusnya. "Aku jenuh, ingin segera keluar."

"Kau jenuh?"

"Sangat."

"Oh."

"Hanya 'oh'?" kesal Cassandra melirik pada Ace yang fokus memerhatikan ponsel di tangan.

"Cangcimen! Cangcimen!" lontar Cassandra merasa geram sendiri karena Ace tidak menanggapinya lagi.

"Cangcimen! Kacang kwaci suplemen!" imbuh Cassandra. "Pak, pasienmu ini butuh suplemen."

Ace yang mulanya menunduk membaca pesan dari salah satu anak buahnya, kini mendongak pada Cassandra yang memasang wajah kesal kepadanya. Ace mendengus geli. Ia berjalan mendekati ranjang Cassandra dan menyimpan kembali ponselnya. Pria itu melepaskan jas hitamnya, meletakkannya di atas kursi samping ranjang, kemudian ia melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. Melepas sepatu menyisakan kaus kaki, lalu naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Cassandra.

Membuat Cassandra tersentak kaget begitu wajah Ace berada tepat di depannya.

Wajah keduanya saling berhadapan, bertatapan dari jarak dekat. Cassandra mengganti posisi tubuhnya agar terasa lebih nyaman---menyamping dan agak mendekat pada tubuh Ace, hampir menempel. Mereka diam saling pandang selama beberapa saat. Seolah-olah bisa saling berbicara lewatan tatapan mata.

Beberapa saat kemudian, satu tangan Ace bergerak untuk menyentuh lengan Cassandra, menyusurinya dengan sentuhan lembut dari bawah ke atas, lalu berhenti di lehernya. Mengelus-elus leher Cassandra, menciptakan sengatan aneh yang membuat Cassandra meremang. "Suplemen apa?" tanya Ace yang ternyata sempat menangkap kata-kata Cassandra.

Cassandra menelan saliva seraya masih terpaku pada kedua mata Ace yang menatapnya dalam dan penuh arti. Dengan bodohnya dia menjawab, "Suplemen peninggi badan."

"Peninggi badan? Bukan peninggi yang lain?"

"Yang lain?" bingung Cassandra. "Yang lain apa?"

"Aku ingin membuatmu terbang tinggi hingga menembus langit dan menjelajahi angkasa," papar Ace dengan suara beratnya. Jari-jari tangan Ace begerak pelan membentuk putaran kecil di sekitar tulang selangka Cassandra. Membuat perempuan itu menahan napas dan sesekali memejam.

"Caranya?" Jujur, Cassandra sudah paham betul apa maksud Ace, tapi dia pura-pura polos dan tidak mengerti sama sekali.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Cassie. Aku tahu betul bahwa otakmu sudah terkontaminasi," bisik Ace dengan seringai tipis di bibirnya.

Tepat sasaran!

Cassandra diam seribu bahasa. Tidak bisa mengelak karena memang benar.

"Cerita yang kau baca di aplikasi bernama wattpad itu hampir 50% bertema dewasa. Meskipun ditulis dalam bahasa Indonesia---yang tidak bisa kumengerti sepenuhnya---tapi aku tetap tahu dan langsung paham begitu melihat cover serta peringatan 21+ yang ada pada deskripsi cerita," jelas Ace panjang.

Cassandra mati kutu. Sumpah demi apa pun ia tidak menduga bahwa Ace bisa sampai sejeli itu. Sialan. Dia malu. Haruskah dia melakukan pembersihan pada perpustakaan wattpad-nya? Lalu dia isi dengan cerita fiksi remaja dan fantasi saja?

Ace mendekatkan mulutnya pada telinga Cassandra, berbisik seduktif, "Nakal. Padahal umurmu masih delapan belas, tapi sudah membaca cerita yang dikhususkan untuk orang dewasa."

"A-- aku hanya penasaran awalnya, tapi akhirnya ketagihan dan ...." Cassandra tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menggigit bibirnya sendiri saat Ace tiba-tiba menjilat telinganya, lalu berganti menggigit telinganya pelan.

Setelah puas memberikan sentuhan dan kecupan di telinga serta leher Cassandra, Ace menarik wajahnya, kembali menghadap Cassandra. Satu tangannya menyisir rambut hitam Cassandra, lalu ia berkata dengan penuh kelembutan, "Kau tahu? Aku juga sangat ingin agar kau segera keluar dari rumah sakit. Kita telah melewati banyak hal. Aku ingin segera menyelesaikan semua masalah yang terjadi, agar aku bisa memiliki waktu yang lebih banyak untukmu, untuk membahagiakanmu."

Cassandra tersenyum tipis mendengarnya.

"Aku sudah memiliki rencana. Nanti kita berdua berkeliling dunia sambil membuat baby, pasti akan seru sekali," imbuh Ace. "Dua puluh anak, kan?"

Cassandra melebarkan mata, "Aku---"

"Kau sudah berjanji," potong Ace.

"Kapan aku berjanji?"

"Ucapan adalah janji."

"Waktu itu aku hanya asal bicara," sangkal Cassandra.

"Ya sudah, aku beri keringanan. Tujuh anak, harus."

"Mana bisa begitu?" protes Cassandra memukul-mukul dada Ace. "Aku bukan ayam yang bisa beranak banyak, ya!"

Ace terkekeh memegangi tangan Cassandra yang tidak mau berhenti memukulnya. "Ayam itu bertelur, Sayang." Kemudian ia membawa tubuh mungil Cassandra ke dalam pelukan eratnya, mengunci pergerakan perempuan itu. Selanjutnya ia menggigit leher belakang Cassandra gemas. Membuat perempuan itu memekik tertahan sambil tertawa kegelian. Ace ikut tertawa pelan.

"Eh, omong-omong, lebih dulu telur atau ayam, ya?" tanya Ace setelah berhenti tertawa.

"Intinya lebih dulu rasa cintaku padamu," balas Cassandra tidak ada sangkut pautnya. Ace semakin gemas dan berakhir menggigit kedua pipi Cassandra bergantian.

seneng gak siti gak jadi koid?

𝐏𝐒𝐘𝐂𝐇𝐎𝐁𝐎𝐒𝐒 : 𝐈𝐭𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐟𝐢𝐚 [TERBIT]Where stories live. Discover now