49. About Me

1.3K 82 0
                                    

Menikmati coklat panas ditengah musim dingin bukanlah hal asing buat gue. Tapi kali ini terasa berbeda karena gue menikmati coklat panas ini seorang diri. Melihat hamparan salju putih dari balik jendela kaca di apartemen tak jauh dari Cambridge University tempat gue menempuh gelar master adalah hobby baru gue sejak salju pertama turun di kota ini.

Salju yang turun sejak awal bulan ini menjadi penanda musim dingin pertama gue di benua Eropa, juga musim dingin pertama yang gue habiskan seorang diri, jauh dari orang-orang terdekat.

"Waalaikumsalam Bunda." Gue balas menyapa ketika sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel gue beberapa detik yang lalu. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Bunda, yang sejak gue menginjakkan kaki di negara tempat tinggal pangeran William ini, beliau begitu rajin mengabsen kehadiran gue hampir setiap hari.

"Sudah makan nak?" Tanyanya kemudian. Pertanyaan wajib setiap menghubungi putri semata wayangnya yang jauh di negeri seberang.

Saat ini langit kota Cambridge memang belum sepenuhnya gelap meski waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 waktu Cambridge. For your info, di kota ini matahari akan mulai tenggelam sekitar jam 21.15. Membuat siklus hidup gue morat marit saat awal pertama tinggal di kota ini.

"Sudah bun, Fara masak ayam kecap tadi."

Bersyukurlah suami gue kelak, berkat makanan di kota ini yang kurang cocok dengan lidah gue. Akhirnya gue terpaksa memasak sendiri, yang tentu saja nilai plusnya membuat kemampuan memasak gue meningkat pesat.

"Makan sayur neng, jangan makan ayam-ayaman terus." Omelnya seperti biasa.

"Ayam beneran kali bun bukan ayam-ayaman."

"Kamu ini kalau dibilangin."

"Iya bun iya... besok Fara beli sayur."

Please kasih tau gue, kalau gue bukan satu-satunya manusia di muka bumi ini yang memiliki kadar kebencian yang tinggi pada makanan yang dinamakan sayur. Bukan, bukanya gue nggak doyan, tapi sayur itu jenis makanan yang menurut gue nggak ada rasanya, jadi males aja gitu kalau mau makan.

"Beneran beli ya, kamu itu kalau nggak dipaksa makan sayur pasti belok terus makan yang lain." Omel bunda lagi, belum puas dengan jawaban pasrah anaknya.

"Bunda ngapain sekarang, udah bangun apa belum tidur? Sekarang di Indo jam setengah dua pagi kan bun?" Begitu menyadari perbedaan waktu Cambridge-Jakarta, barulah gue sadar kalau saat ini bunda menghubungi gue di waktu dini hari.

"Ayah sama bunda habis sholat sepertiga malam tadi. Terus lihat-lihat album foto, jadi kangen putri kecil bunda." Jelas bunda diseberang telepon, membuat gue mangangkat sebelah alis mendengar penuturan random bunda. Nggak biasanya bunda terdengar mellow gini sih.

"Bunda lihat album foto waktu aku kecil?" Tanya gue sembari mengingat album foto apa saja yang tersimpan di kamar kedua orangtua gue itu.

"Iya. Bunda minta maaf ya nak." Setelah kalimat itu yang gue dengar selanjutnya adalah suara grusak grusuk, sepertinya bunda meletakkan ponselnya di kasur.

"Minta maaf kenapa Bun?" Gue mengerutkan dahi ketika gue kembali mendengar suara grusak grusuk untuk yang kedua kalinya, pertanda ponsel itu telah kembali diambil atau berpindah tempat.

"Maaf karena ayah bunda nggak pernah ada buat Fara waktu Fara masih kecil." Kini suara di seberang telepon telah berganti. Bukan suara lembut bunda tapi suara tegas penuh wibawa milik ayah.

"Maaf ayah dan bunda tidak bisa menemani Fara mengerjakan PR. Maaf ayah dan bunda selalu menolak datang ke sekolah waktu Fara pentas di taman kanak-kanak. Maaf ayah dan bunda tidak bisa menjemput Fara sepulang sekolah. Maaf juga karena ayah dan bunda bahkan tidak pernah bisa datang saat Fara mengikuti berbagai lomba dan kejuaraan untuk sekedar memberikan semangat." Ayah memberi jeda.

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now