12. It's So Deeply Hard

1.5K 98 0
                                    

Part ini dibuat khusus dengan point of view Didit, laki-laki baik yang harus mengubur isi hatinya karena tidak mampu mengungkapkan perasaannya selama bertahun-tahun. Motto hidupnya, lebih baik terjebak di warzone daripada friendzone.

***

Bagini toh rasanya melihat cewek yang lo cintai tertawa bersama cowok lain, sakit tapi nggak berdarah. Gue dapat kata-kata itu dari Velis.

Diposisi gue sekarang, gue bisa melihat dengan jelas senyum dan tawa Fara yang sejak tadi tidak pernah lepas dari wajah cantiknya. Tapi sayangnya, senyum itu bukan buat gue dan tawa itu bukan karena gue.

Sekarang gue sedang duduk di salah satu meja di bagian outdoor restoran hotel, di hotel ini bagian restoran memang di tempatkan menghadap ke arah pantai, dengan bagian indoor dan outdoor yang hanya dibatasi pintu kaca. Gue duduk ditemani sahabat gue yang satunya, siapa lagi kalau bukan Velis yang masih sibuk telponan dengan pacarnya. Gue menghadap ke tepian pantai dimana Fara dan juga cowoknya itu duduk beralaskan pasir.

Gue nggak tau apa yang mereka bicarakan, gue juga nggak bisa melihat wajah mereka dengan jelas karena hanya cahaya lampu tamaram yang mambantu gue mengintip interaksi mereka. Tapi meskipun hanya cahaya tamaram dan jarak yang cukup jauh, gue dapat dengan jelas melihat senyum bahagia Fara. Hati gue dapat merasakan senyuman wanita itu.

Gue memang bego, dari awal seharusnya gue nggak pernah membiarkan perasaan ini tumbuh. Meski gue sudah memprediksi akan seperti ini akhirnya, dan akan sesakit ini rasanya, gue masih membiarkan hati gue memilihnya. Didit, seculun itu naman gue, dan sebego itu perasaan gue.

"Udah nggak usah dilihatin terus." Nah suara Velis mulai mengintrupsi. Tanpa gue sadar, Velis ternyata sudah selesai dengan agedan telpon-telponannya, kalimat sayang-sayangannya pun telah usai berdengung di telinga gue. Membuat gue sejak tadi ingin muntah dan memaki bersamaan.

"Udah puas telponannya?" Kalimat tanya itu jelas bertujuan untuk balik menyindir Velis.

"Nggak usah sirik gitu dong, makanya jadi cowok jangan cupu, udah diembat orang baru nyesel." Gue nggak heran sih kenapa Velis dilahirkan sebagai wanita, lambenya udah cocok jadi mimin lambe turah.

"Siapa yang bilang gue nyesel, nggak usah sok tau deh lo." Gue menyangkal, sambil menonyor kepala sohib gue yang selalu dibanggakannya itu, padahal isinya juga nggak jauh dari drama korea atau oppa-oppa kemayu.

"Eh jangan samain gue sama si Fara yang nggak peka itu, gue sekali lihat aja udah tau kalo sekarang lo iri berat sama Azka." Kan gue bilang apa, nggak ada yang bisa ngerem mulut cewek satu ini. Untung cewek, kalo cowok udah gue gibeng. Untung juga tempat kita duduk tidak terlalu rame, apa kata orang kalau denger omongan Velis.

"Lo pasti ngerti kan Vel, ini keputusan terbaik yang gue buat. Gue bahagia kok lihat Fara bahagia." Gue dengan yakin membantah pernyataan Velis. Membohongi hati gue sendiri yang sepertinya masih tidak rela. Gue nggak mau jadi pacarnya Fara karena Fara pun juga cuma menganggap gue sebagai sahabatnya, gue senang dengan cukup jadi sahabatnya. Tapi gue juga nggak mau Fara sedeket itu dengan cowok lain. Kan mau gue apa sih sebenernya.

"Hahaha.. begini ini toh ternyata play boy kalo udah jatuh cinta." Velis tertawa nyaring, mulutnya terbuka lebar benar-benar puas mengejek gue. Bahkan beberapa orang yang mendengar tawa menggelegarnya menoleh dengan tatapan aneh.

"Diem deh Veell." Gue dengan gemas membekap mulut Velis yang nggak tau tempat, situasi, dan kondisi itu. Main ngakak gajelas, nggak punya malu emang ini perempuan. Heran gue gimana cowoknya bisa betah.

"Lo nggak akan menghancurkan hubungan mereka kan?" Velis tiba-tiba bertanya dengan raut wajahnya yang sudah berubah menjadi lebih serius. Lah si kocak, habis ngakak nggak jelas terus bisa tiba-tiba serius, kalau bukan makhluk tuhan ber-gender perempuan mana ada.

Caffeine (Completed)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt