23. How to Treat a Woman

916 78 3
                                    

Hari kedua penjajahan yang dilakukan Allen terhadap hidup gue berhasil membuat gue masih betah ngejongkrok di kubikel gue meski jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Bahkan cacing-cacing di perut gue yang sejak tadi sudah protes minta diberi makan tidak juga gue hiraukan. Di ruangan ini hanya tertinggal gue dan Haikal yang sekarang sudah membereskan mejanya bersiap untuk pulang.

"Belum selesai Ra?" Haikal bertanya sambil memakai jaket kulitnya ketika melihat gue yang masih tidak beranjak dari kursi sejak dua jam yang lalu.

"Balum nih. Lo mau pulang? Hati-hati ya." Gue membalas dengan mata yang hanya melirik Haikal sekilas kemudian kembali fokus pada laporan yang gue buat.

"Lo mau dibeliin makanan dulu nggak nih? Belum makan kan lo." Tawar haikal begitu melewati kubikel gue.

"Nggak usah, bentar lagi kelar kok ini. Makasih ya." Gue kini mengalihkan perhatian pada Haikal, kemudian tersenyum sebagai bentuk ucapan terimakasih karena perhatian yang diberikan oleh pria yang hanya dua tahun lebih tua dari gue itu.

"Kalo tinggal bentar gue temenin aja." Haikal tiba-tiba menarik kursi mbak Gina dan mendudukan diri di sana.

"Nggak usah Kal, kalo lo disini malah kerjaan gue nggak kelar-kelar karna lo ajak ngobrol mulu. Udah pulang duluan aja." Gue dengan halus kembali menolak tawaran Haikal untuk yang kedua kalinya. Bukanya gimana-gimana sih, selama gue bisa dan nggak masalah sendiri kenapa harus ngerepotin orang lain. Gue juga yakin Haikal pasti capek dan pengen cepet pulang.

"Yaudah deh Ra, gue duluan ya." Dengan cengirannya, Haikal akhirnya meninggalkan ruangan ini setelah gue merespon dengan lambaian tangan.

Besok adalah jatah tim gue untuk menyampaikan laporan progress untuk project konferensi bioscience and bioteknologi yang bertempat di Labuan bajo. Semua devisi yang terlibat sudah memberikan laporan progress mereka dan gue yang kali ini ditunjuk sebagai ketua tim bertugas untuk menyatukan semua laporan yang ada mulai dari budget, akomodasi speaker, promosi media, dan lain sebagainya agar semuanya sesuai dengan perencanaan yang telah disusun sebelumnya.

Itulah sebabnya sekarang gue harus menyiapkan dan menyelesaikan segala materi dan pelaporan yang harus disampaikan besok di depan kepala departemen kami yang tidak lain adalah bapak Gallendra yang terhormat. Pria yang seharian ini memerintahkan gue ini dan itu hingga pekerjaan utama gue akhirnya terbengkalai.

Seperti mantra yang diucapkan mbah dukun, gue yang baru saja menggerutu dalam hati mengumpati boss gue. Tiba-tiba sosok itu kini ada di depan gue. Tangannya dimasukkan kedalam saku celana dan punggungnya disenderkan pada aksen kayu pembatas di ruangan ini.

Ini manusia asli kan bukan jelmaan, masih jam delapan loh ini. Nggak mungkin kan bangsa jin udah mau gangguin manusia aja.

"Ngapain lihatin saya kayak gitu?" Allen tiba-tiba bicara dengan sebelah alisnya dinaikkan membuat gue otomatis bernapas lega. Alhamdulillah bukan jelmaan jin.

"Nggak pa pa." Gue kembali memfokuskan diri pada layar leptop. "Bapak belum pulang, ngapain ke sini?" Tanya gue karena manusia di depan gue ini belum lagi membuka suara.

"Ini udah di luar jam kantor, bisa kan nggak usah panggil saya bapak. Kesannya saya tua banget." Bukanya menjawab, Allen justru memprotes panggilan 'bapak' yang gue tujukan untuknya. Gue menaikkan sebelah alis sebagai respon. Asli nggak penting banget topik begini dibahas.

Oke, gue akui tampang dan perawakan Allen memang jauh dari kata bapak-bapak. Gue sudah pernah bilang kan wajah Allen itu punya struktur ketampanan diatas rata-rata, hidungnya mancung, matanya tajam, tatanan rambutnya kece abis, apalagi badannya yang tegap dan pelukable. Mampus ngapain gue mengagumi penampilan boss gue ini. Mulai halu gue Tuhan... Btw umur Allen pun masih terbilang muda, pria itu kini baru berusia dua puluh tujuh tahun.

Caffeine (Completed)Место, где живут истории. Откройте их для себя