33. Love and Life

820 76 2
                                    

Sabtu malam ini gue berencana menginap di apartemen Velis, mengingat bagaimana kondisi sahabat gue itu ketika kami tidak sengaja bertemu di restoran daerah Setiabudi kemarin lusa, gue sangat perlu menemaninya di malam minggu seperti ini. Begitu Velis membukakan pintu apartemennya, hal pertama yang gue lihat adalah wajahnya yang terlihat kurang tidur, kantung matanya menghitam dan wajahnya yang pucat.

Gue tau, sekarang adalah fase puncak dari drama hubungannya dengan Annov, hubungan yang sudah lima tahun lamanya terjalin yang sekarang sudah tinggal kenangan, itu sebabnya Velis terlihat tidak semangat dan cenderung seperti mayat hidup beberapa minggu ini. Wait, untuk bagian 'mayat hidup' hanya gue yang bisa melihatnya. Velis pandai menyembunyikan perasaannya, dan menyembunyikan wajah kacaunya dengan make-up, pada orang lain tapi bukan dengan gue.

Sejak kedatangan gue dua puluh menit yang lalu hingga saat ini Velis belum juga mengucapkan sepatah katapun. Matanya menatap kosong tayangan Netflix di TV apartemennya, benar-benar terlihat seperti seseorang yang tidak punya semangat hidup.

"Makan dulu Vel, mumpung masih hangat." Gue menyodorkan semangkuk sup ayam yang baru saja matang. Yaps, gue datang ke apartemen Velis dengan berbagai bahan masakan dan makanan siap santap untuk mengisi kulkas sahabat gue itu. Karena gue yakin dalam kondisi begini teman berantem gue sewaktu SMP itu nggak akan peduli lagi dengan isi kulkasnya.

"Lo kapan terakhir makan? Gila badan lo jadi kurus banget gini." Velis tetap diam meski mendengar pertanyaan gue, tangannya pun hanya mengaduk-aduk sup ayam buatan gue tanpa berniat memakannya.

"Makan Vel jangan diaduk-aduk terus, gue yakin lo belum makan dari pagi kan. Kasian lambung lo." Gue menghentikan gerakan tangan Velis, menatap mata sendu sosok sahabat yang telah menghabiskan separuh hidupnya bersama gue.

Velis meletakkan mangkuk sup ayam itu di meja, kemudian tiba-tiba memeluk tubuh gue erat. Kini gue dapat mendengar dengan jelas isakan tertahan dibalik punggung gue, tangis yang gue yakin sudah dengan susah payah ditahannya sejak kedatangan gue tadi, kini sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Gue bahkan bisa merasakan baju yang gue kenakan kini mulai basah.

"Lo tau harusnya sejak awal gue nggak memulai hubungan ini, Ra." Akhirnya Velis berujar disela-sela isakannya.

"Harusnya gue baik-baik saja sekarang karena gue udah tau akhirnya akan begini."

"Tapi kenapa rasanya tetap saja menyakitkan, Ra."

"Gue jalas tau kalau selamanya istiqlal dan katedral ditakdirkan untuk sekedar berdampingan bukan dan untuk disatukan."

"Apa yang sebenarnya gue harapkan selama ini. Ketika gue sudah tau pasti kami berdoa pada tuhan yang berbeda."

Gue membiarkan Velis mencurahkan semua emosinya tanpa berniat untuk menimpali ucapannya. Kini tangan gue memeluk Velis erat, menepuk dan mengelus punggungnya dengan lembut, berharap dapat membuatnya merasa lebih baik.

Ya, hubungan Annov dan Velis memang dipisahkan oleh benteng yang begitu tinggi. Seperti yang Velis bilang, Annov dengan katedralnya dan Velis dengan istiqlalnya. Mereka bisa hidup berdampingan tapi tidak untuk disatukan. Mungkin bagi beberapa orang hal ini bukanlah masalah serius, bahkan beberapa masih bisa sampai ke jenjang pernikahan meski didasari berbedaan keyakinan. Tapi bagi kami, gue, Velis dan lingkungan kami. Hal mendasar dan syarat utama dalam hubungan yang melibatkan rasa cinta adalah memiliki satu keyakinan, memiliki satu Tuhan yang sama.

Dulu gue sudah pernah memperingatkan Velis, untuk jangan memberikan semua perasaannya pada Annov, jangan jatuh cinta terlalu dalam. Dulu Velis dengan lantang berkata 'gue udah siap Ra, kapan aja hubungan gue dan Annov akan berakhir. Kami sama-sama sepakat untuk tidak menanggap hubungan kami adalah hubungan yang serius.'

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now