28. I Know Who You Are

766 72 1
                                    

"Jadi mau traktir saya sarapan apa?" Allen bertanya dengan tampang songongnya yang nyebelin itu tepat ketika gue telah duduk di kursi samping kemudi. Setelah sebelumnya pria itu membantu gue memasukkan koper gue kedalam bagasi mobilnya.

Seperti janjinya kemarin, Allen benar-benar menjemput gue pagi ini. Pria itu telah rapi dengan dengan tampilan casual, ditambah dengan jaket hoodienya. Begitu pula dengan gue yang dengan kecepatan kilat berhasil memoleskan sedikit make up dan menyisir rambut. Untungnya semalam gue sudah menyiapkan baju yang akan gue kenakan pagi ini, jadi gue nggak perlu lagi untuk memilih pakaian yang pantas gue kenakan untuk perjalanan dinas.

Entah kebetulan atau gimana, pagi ini gue tampil senada dengan Allen. Tampilan casual dengan celana jeans dan kemeja berwarna putih -dengan sedikit motif abstrak pada kemaja gue-, bedanya gue melapisinya dengan sweater dan Allen mengenakan hoodie yang entah bagaimana juga sama-sama berwarna abu-abu. Pagi ini udara Jakarta memang lebih dingin dari biasanya, bahkan semalam pun sempat turun hujan. Itu sebabnya gue dan Allen sama-sama berpikir untuk melapisi pakaian kami dengan sesuatu yang lebih hangat.

"Terserah bapak mau sarapan apa." Gue menjawab pasrah sembari menyenderkan punggung.

Yups, udah ketahuan kan yang menang taruhan kemarin siapa? Yang jelas bukan gue. Pagi tadi entah sudah berapa kali alarm gue berbunyi, ternyata tidak berhasil membuat gue terbangun. Tapi tepat ketika jam menunjukkan angka 03.00 a.m panggilan telepon Allen dengan brutalnya berhasil membangunkan gue. Entah gue terbangun karena sudah berkali-kali terganggu dengan bunyi alarm gue sebelumnya, atau memang berkat suara dering panggilan masuk di ponsel gue yang langsung mengingatkan gue pada wajah setan Allen sehingga gue bisa langsung terbangun. Yang jelas, Allen lah yang lebih dulu bangun, dan gue kalah taruhan.

"Kan yang traktir kamu masak saya yang milih." Protesnya masih dengan nada mengejek. Nyebelin.

"Kalau saya sih, pilih sarapan di hotel aja." Gue menjawab santai dengan senyum yang gue buat semanis mungkin. Gue disuruh milih, ya pilih yang gratisan.

"Ya nggak bisa gitu dong, bukan traktir itu namanya karna udah termasuk akomodasi kantor." Ujarnya tepat seperti dugaan, menolak mentah-mentah pilihan gue.

"Udah deh, bapak fokus nyetir aja dulu. Ntar saya pikirin mau sarapan apa." Gue yang mulai gemas, membalas Allen dengan nada kesal yang sangat kentara. Dan Allen masih belum juga bosan menggoda gue.

"Masih pagi loh mbak, udah jutek aja."

"Diem deh pak."

"Kan saya disuruh diem lagi." Katanya dengan tampang memberengut. Menguap sudah rasa ngantuk gue kalau jam empat pagi begini sudah harus berdebat dengan Allen.

"Ya nggak usah monyong-monyong gitu juga kali pak." Gue nggak bisa menahan tawa ketika Allen yang terbiasa berwajah lempeng kini mengerucutkan bibirnya seperti bocah kecil yang sedang ngambek. "Gimana kalo soto lamongan cak har? Kan deket tuh dari airport. Jadi sebelum ke hotel mampir dulu ke situ." Usul gue kemudian. Soto lamongan cak har ini memang cukup terkenal di Surabaya, dan yang paling penting warung soto legendaris ini sudah buka dari jam enam pagi.

"Nahh.. setuju." Ujar Allen dengan semangat 45-nya yang kembali muncul, membuat gue hanya bisa menggeleng kecil melihat tingkahnya yang berubah-ubah seperti abg.

***

Sekarang tepat jam 04.45 WIB dan gue sudah duduk di kursi gue, dalam pesawat yang akan gue tumpangi hingga sampai ke Surabaya. Di samping gue ada Allen yang tengah sibuk dengan entah apa yang dibacanya dilayar ponsel miliknya.

"Hallo Assalamualaikum bun." Sapa gue pada wanita di seberang telepon sana tepat ketika panggilan telepon yang namanya gue simpan sebagai 'Forever Queen Bunda ♥' masuk ke ponsel gue.

Caffeine (Completed)Место, где живут истории. Откройте их для себя