30. What Other People Say

770 70 4
                                    

"Kaki lo kenapa Ra?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh mbak Adisti yang baru saja masuk ke area pantry dan melihat gue sedang memasangkan plaster ke kaki gue.

"Lecet nih mbak." Gue meringis perih sambil menoleh pada perempuan yang khas dengan kunciran kudanya, yang kini mengambil duduk disamping gue, memperhatikan luka di bagian atas tumit kaki gue.

"Lo habis lari marathon pake high heels apa gimana bisa sampe lecet gitu." Ujarnya lagi begitu melihat sepatu berjenis stiletto yang gue kenakan.

"Bisa dibilang gitu sih mbak. Gue telat bangun tadi, jadi terpaksa naik ojek dan lari dari lantai dasar sampai lantai tujuh. Soalnya gue ada meeting tepat jm 8.30." Jelas gue panjang disela-sela meniup luka lecet di kaki gue yang rasanya, perih banget gila.

Mbak Adisti yang mendengar cerita gue bahkan sudah menatap gue kaget, dengan sorot mata yang seolah bilang 'lo gila ya'. "Lo naik tangga dari lantai dasar sampai lantai tujuh? Demi apa lo?"

"Demi kaki gue yang lecet sekarang mbak." Gue merespon enteng sambil tersenyum polos. "Liftnya rame banget soalnya tadi. Jadi terpaksa pakai tangga darurat."

"Lo itu ada-ada aja ya, Ra Ra..." Mbak Adisti menggeleng pelan dan bangkit dari duduknya, berjalan menuju coffee maker. "Lo habis pulang perdin dari Surabaya kan?" Tanyanya lagi, berdiri dengan punggung yang menyender pada meja pantry, menunggu expressonya siap.

"Nah karna perdin itu mbak jadinya gue telat bangun. Gue nyampe Senopati jm 11 malem, udah gitu harus beresin laporan buat meeting tadi. Jadilah gue tidur jam 3 pagi." Meluncur sudah curhatan gue pada mbak Adisti, yang gue yakin sih mbak Adisti juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang gue alami sekarang. Diwaktu-waktu mepet tiba-tiba jadwal meeting dimajukan, akibatnya lo harus kerja ekstra dalam tempo yang sesingkat-singkatnya untuk menyelesaikan draf laporan yang akan dibahas saat meeting.

"Kagum sih gue sama lo Ra, tidur nggak nyampe empat jam dan sekarang lo masih bisa tampil seger gini." Pujian mbak Adisti itu terucap seusai menyeruput expressonya yang telah jadi.

"Itulah gunanya make-up mbak." Jawaban gue yang diakhiri dengan cengiran lebar itu disambut mbak Adisti dengan kekehan. "Gue udah selesai nih mbak, yuk balik ke ruangan." Gue meletakkan kembali kotak P3K ke dalam rak kaca yang ada di pantry. Kemudian menggandeng mbak Adisti keluar dari area pantry.

"Fara." Mbak Adisti tiba-tiba memanggil nama gue dengan suara yang mengisyaratkan sesuatu saat kami melewati ruangan Allen. Membuat gue otomatis menoleh dan mengamati ekspresi mbak Adisti.

"Iya mbak."

"Denger-denger pak Allen ternyata udah punya gandengan ya." Ah, ini arti dari cara tak biasanya saat memanggil nama gue tadi. Mau bahas tentang Allen lagi ternyata.

Gue yang nggak tau apa-apa tentu saja menunjukkan raut kaget. Berita apa lagi ini, baru gue tinggal dua hari udah ada aja berita baru. "Gandengan? Siapa?"

"Gue nggak tau tepatnya sih, cuman ada anak departemen lingkungan yang katanya lihat pak Allen jalan ke supermarket sama cewek. Dia juga bilang kalau ceweknya cantik banget. Dan pada banding-bandingin gitu sama lo."

Sepertinya gue tahu 'cewek' yang dimaksud mbak Adisti ini, cewek yang ke supermarket sama Allen, siapa lagi kalau bukan Kyra, yang juga secara tidak sengaja bertemu gue weekend lalu.

"Kenapa dibandingin sama gue mbak?" Gue menyipitkan mata, sejujurnya agak risih dengan penuturan terakhir mbak Adisti. Kenapa orang seneng banget sih membanding-bandingkan orang lain.

Masih dengan berjalan beriringan, mbak Adisti menoleh sekilas, kemudian dengan yakin menjawab dengan penuh penekanan. "Everybody know that you are the most perfect girl in this office Ra."

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now