20. Brand New Day

1K 85 0
                                    

"Ra dipanggil pak Judika tuh, suruh ke ruangannya." Mbak Lana yang baru saja kembali dari pantry menghampiri kubikel gue. Jangan salahkan gue kalo nama boss gue ini terasa ngartis banget, gue juga kaget waktu tau nama boss gue ini. Apalagi setelah melihat perawakannya yang lebih mirip Duke of Weselton di film Disney Frozen dibandingkan penyanyi papan atas tanah air yang suaranya mampu memukau siapa saja.

"Kenapa mbak? Kayaknya aku nggak ada keperluan apapun sama pak Judika sekarang ini." Gue menghentikan kegiatan gue yang sedang membalas e-mail salah satu sponsorship untuk project gue bulan ini.

"Gue juga nggak tau. Doi cuman bilang, sudahlah kau tak usah banyak tanya, panggil saja si Fara." Mbak Lana dengan fasih menirukan logat Batak khas pak Judika, kepala departemen kami. Mbak Gina yang duduk dikubikel sebelah gue bahkan sudah tertawa ngakak. Kurang ajar memang teman-teman saya ini. Tapi sayangnya, gue akhirnya juga ikut tertawa mendengar logat mbak Lana yang sama sekali tidak cocok mengingat mbak Lana adalah wanita sunda asli.

"Buru lah kau kesana, sebelum kena amuk kau." Mbak Lana kembali melanjutkan guyonannya. Untung saja ruangan pak Judika cukup jauh dari ruangan kami, jadi kemungkinan lawakan disiang bolong ini terdengar oleh kepala departemen kami itu sangat kecil.

"Yaudah deh mbak, aku ke ruangan pak Judika dulu ya." Pamit gue sambil mengambil notebook dan bolpoin, jaga-jaga aja siapa tau perlu. "Doain aku ya mbak." Sebelum benar-benar melangkah, gue kembali menoleh pada mbak Gina dan mbak Lana yang dibalas dengan acungan jempol dan gestur penyemangat oleh keduanya.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya gue sampai di ruangan pak Judika. "Buset kaget gue." Gue berlonjak kaget begitu suara pak Judika yang mempersilahkan gue masuk terdengar dengan begitu kerasnya bahkan sebelum gue sempat untuk mengetuk pintu.

"Bagaimana, kau betah kerja disini?" Pria berkemeja kotak-kotak dengan rambut yang semakin menipis itu bertanya begitu gue masuk ke dalam ruangannya.

"Eh, iya pak betah." Posisi gue sekarang sudah duduk berhadapan dengan pak Judika yang duduk di kursi singgahsanahnya. Gue menatap bingung pria yang baru gue tahu telah berusia 58 tahun itu. Lebih tepatnya gue bingung dengan maksud pertanyaannya dan apa hubunganya dengan gue yang dipanggil keruangannya sekarang.

"Kau sudah dengar berita kalau minggu depan ada kepala dapartemen baru?" Tanyanya lagi begitu gue hanya diam, menunggunya untuk bicara, karena gue juga tidak tau mau bicara apa. Dari informasi yang gue dapat, pak tua satu ini tidak suka jika ucapannya disela dan tidak suka dengan orang yang kebanyakan ngomong, pokoknya tipikal boss yang sensitive banget. Dan gue sudah membuktikan itu selama 6 bulan kerja disini ditambah 4 bulan sebagai trainee.

"Sudah pak, terus hubungannya sama saya apa ya pak?" Gue akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Lebih cepat sampai pada poinnya lebih cepat gue kembali ke kubikel gue dan menyelesaikan segala pekerjaan gue yang tertunda.

"Saya mau kau jadi asisten kepala departemen yang baru nanti, selama satu bulan." Ucapnya final tak terbantahkan, yang gue tau, ini bukan hal yang bisa dinegosiasikan. Mampus lah nambah lagi kerjaan gue kalo gini caranya.

"Tapi pak, setau saya kepala departemen di sini tidak ada yang punya asisten." Meskipun gue tau ini merupakan perintah tapi berusaha untuk bernegosiasi tidak ada salahnya kan, demi kesejahteraan hidup gue selanjutnya.

"Yang satu ini butuh asisten Fara. Dia tidak memiliki pengalam sama sekali di perusahaan NGO. Saya lihat pekerjaan kamu sangat memuaskan dan bisa dengan mudah beradaptasi dan menguasai bidang ini, jadi kamu kandidat yang paling oke. Ditambah kamu masih sangat muda, pasti cocok dengan head department yang baru. Satu bulan saja Fara, kau tolonglah dia."

Kalau tidak punya pengalaman bagaimana bisa menjadi kepala departemen bapak! Pengen ngebantah gue, tapi takut dosa sama orang tua gimana dong. "Terus tugas saya apa pak?" Ya, akhirnya pertanyaan itu yang justru terucap dari mulut gue.

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now