15. Beautiful Soul

1K 73 0
                                    

"Ra makan siang ini ke sushi tengoku yuk." Mbak Lana menghampiri kubikel gue dengan riangnya. Sebentar lagi memang sudah waktunya jam makan siang. Berhubung pekerjaan kita hari ini lagi nggak hectic banget gue sebenarnya sudah menebak kalau kami akan makan siang diluar hari ini.

"Ayo dek, aku juga lagi pengen makanan jepang nih. Udah lama nggak makan sushi juga." Mbak Gina sudah dengan hebohnya ikut menimpali ajakan mbak Lana.

"Kebetulan aku juga udah janjian makan siang sama temen disana sih mbak." Gue menjawab ragu-ragu. Gue memang udah janjian sama Didit sebelumnya ditempat yang kebetulan sama dengan yang ingin mereka datangi. Karena sudah sejak dua minggu yang lalu Didit neror gue terus buat makan siang bareng, jadi begitu gue punya waktu luang gue langsung mengiyakan ajakan Didit.

"Siapa? Gabung aja sama kita. Lebih rame kan lebih seru." Ucap mbak Lana yang juga diangguki oleh mbak Gina.

"Okedeh mbak, aku kabarin orangnya dulu." Sejujurnya gue nggak nyaman sih ngajak Didit makan bareng mereka, tapi menolak ajakan mereka juga bukan pilihan yang tepat karena gue tahu mereka sebanarnya cuma pengen mengakrabkan diri dengan teman kerja baru mereka, yaitu gue.

***

Sepuluh menit kemudian, tepat saat jam di pergelangan tangan gue menunjukkan angka 12.15 WIB gue sudah berada di dalam restoran sushi tengoku dengan meja panjang yang dikelilingi 6 kursi. Semua kursi telah penuh terisi kecuali satu kursi di samping gue. Pasukan kami bertambah hingga akhirnya sekarang kami berlima, ada gue, mbak Gina, Mbak Lana, Mas Bayu, dan Mbak Adisti. Sedangkan Didit belum juga menampakkan batang hidungnya.

Tadi Didit menawarkan diri untuk menjemput, tapi berhubung gue bawa mobil sendiri, dan diantara kami hanya gue yang bawa mobil akhirnya gue memilih berangkat bareng temen kerja gue sekalian biar mereka bisa nebeng. Nggak perlu naik motor berbonceng-boncengan ditengah udara panas penuh polusi kota Jakarta.

"Pesen dulu aja deh mbak, urusan temen aku ntar gampang." Gue mengintrupsi kegiatan mbak Gina yang sedang melihat menu-menu yang tersaji di dalam buku menu. Mbak Gina mengangguk menyetujui usulan gue, begitu juga yang lainnya.

Tak lama setelah kami selesai memesan menu masing-masing. Pintu masuk restoran terbuka, menampakkan sosok berbadan tegap dengan setelah kaos ringer tee berwarna abu-abu dan celana chino berwarna cream. Siapa lagi orangnya jika bukan Diardi Putra Dinata, yang masuk dengan tampang sok coolnya dan cengiran lebar andalannya.

"Ra sorry ya gue telat." Gue berdiri menyambut pelukan singkat dari Didit. Tentu saja dengan diperhatikan seluruh pasang mata di meja ini.

"Lo yang ngajak, lo juga yang telat. Untung tadi gue milih bawa mobil sendiri."

"Tadi nungguin Mami bungkusin ini buat lo. Salahin Mami lah." Didit menyerahkan sebuah paper bag ke tangan gue, membuat gue spontan mengerutkan dahi. "Kemarin si Mami eksperimen bikin kue, terus tau kalau gue mau ketemu lo hari ini, yaudah deh dia nitip, katanya biar lo cobain." Didit berujar lagi begitu mengerti maksud dari gesture yang gue tunjukkan.

"Ehem, ini Ra yang ngasih kado kemarin." Tiba-tiba suara mbak Gina mengintrupsi, dan gue seperti diingatkan kalau disini gue tidak sedang sendirian.

"Oh bukan mbak, kenalin ini Didit, sahabat saya dari SMA." Gue akhirnya kembali duduk diikuti Didit yang kini duduk disebelah gue.

"No no no. Mulai sekarang nama panggilan gue Diar bukan Didit. Khusus buat lo nggak papa lah manggil gue Didit." Sebelum mbak Gina kembali membuka suara, Didit lebih dulu menyahut dengan tidak sabaran, mengkoreksi nama yang gue sebutkan.

"Sejak kapan nama lo jadi Diar?" Gue bertanya dengan alis terangkat, sejujurnya tidak terlalu kaget dengan tingkah absurd pria disamping gue ini.

"Sejak gue melepas almet kampus gue. Hehe" Jawaban Didit itu diakhiri dengan cengiran tanpa dosanya. "Oh iya kita kenalan dulu deh, kan aku juga mau tau siapa nama temen-temen Fara yang cantik-cantik ini." Seperti biasa tanpa canggung Didit sudah dengan santainya berkenalan dengan teman-teman kantor gue. Memang dasarnya Didit itu orang yang pintar membangun dan mengendalikan suasana. Terbukti, sekarang doi sudah dengan senewennya menggoda mbak Lana yang duduk berseberangan dengannya.

Caffeine (Completed)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن