10. Friends and You

1.7K 142 1
                                    

And one day. Just to be like that.

(Prita Faradista)

***

Hanya ada satu nama Azka dalam dua puluh satu tahun hidup gue, bukan Azka yang lain melainkan Azkano Bragaputra, laki-laki yang memberikan kenangan terindah dalam waktu singkat gue di London. Pantas saja gue merasa pernah mendenger suara imam tadi, ternyata yang ngimamin gue adalah seseorang yang jelas gue kenal. Bodohnya gue sama sekali nggak punya firasat apapun kalo cowok tadi adalah Azka. Kadar kepekaan gue emang parah, sangat berada di bawah rata-rata. Kayaknya gue harus beli obat biar gue peka, ada nggak sih obat untuk meningkatkan kepekaan?

Jadi setelah pertengkaran gue dan Azka masalah di karaoke itu, yang akhirnya berujung imun gue drop. Cowok gue itu mulai melunak saat tau gue sakit dan mendapat wejangan dari bang Praga mengenai sifat gue yang selalu dibilangnya kekanak-kanakan, ya walaupun kadang gue setuju omongan abang gue itu. Namanya juga hubungan ya, katanya tahun pertama memang yang paling rawan. Tapi begitulah, waktu yang akan menyelesaikan semuanya tepat sesuai porsinya.

Okey, let's finish this monologue..

Berapa lama gue diam mematung menatap Azka? Nggak usah ditanya lagi, nggak usah dihitung juga. Karna satu detik berikutnya gue berkedip berulang kali, memastikan kalau yang gue lihat itu nggak salah. Nggak mungkin kan jelmaan jin secakep ini, ngimamin sholat lagi.

"Azka.." Gumam gue setelahnya, suara gue kecil, tapi tetap mampu ditangkap telinga pria itu, begitu juga Velis dan Titha yang sudah menengok. Tidak jadi meletakkan mukenanya ke dalam lemari.

Azka hanya tersenyum simpul, senyum yang gue rindukan. Ah, gue sedang sangat jujur sekarang, ya gue memang merindukan Azka, apalagi sudah satu semester kami tidak bertemu. Duh ini ngapa dah hari ini gue jadi senam jantung mulu, tadi karna sidang dan sekarang karna Azka. Baru juga jantung gue tenang, eh, baru bentar udah jumpalitan lagi.

"Kamu mau berdiri di sini terus? Nggak mau merayakan kelulusan?" Akhirnya suara Azka menggema dalam masjid ini, semakin meyakinkan gue kalau dia memang benar-benar ada disini sekarang.

Azka mengangkat alisnya ketika gue belum juga memberikan respon. Oke, pikiran jahil muncul di otak gue, karena dia nggak bilang-bilang kalau balik Indo, biar gue sedikit memberikan serangan balik.

Dalam hitungan ketiga gue berbalik, berjalan cepat mengembalikan mukena kembali ke dalam lemari. Velis dan Titha sudah memandang gue aneh sekaligus meminta penjelasan tentang siapa pria yang tadi menjadi imam kami ini. Dan kalau Velis mendegar nama yang gue sebut tadi, sudah pasti dia tau siapa pria yang berbicara akrab ke gue. Tapi gue memilih mengabaikan mereka, langsung menenteng tas dan dengan cepat pula keluar dari masjid, disusul Velis dan Titha.

"Fara." Tentu saja Azka langsung menghampiri gue di teras masjid. "Kamu nggak mau ngomong sesuatu karna sekarang aku ada di sini?" Tanyanya setelah cukup lama menunggu gue yang hanya diam. Velis dan Titha sudah melongo seperti orang yang sedang menonton drama korea tapi nggak ngerti jalan ceritanya.

"Ngomong apa?" Sorry, gue masih dalam mode pembalasan. Gue balik bertanya dengan nada judes.

"Kamu ngambek karna aku balik nggak ngasih kabar?" Tebakan Azka yang seperti bisa membaca rencana gue membuat gue kembali ke mode silent.

Sekarang gue sudah duduk di tangga masjid, mengenakan kaos kaki. Azka mengikuti duduk di sebelah gue. "Aku kan cuman pengen ngasih kamu surprise. Kalo aku bilang dulu, nggak surprise lagi dong."

"Bodo ah." Gue bangkit berdiri, melangkah menjauh dari bangunan masjid. Tapi baru enam langkah gue berjalan, Azka kembali manggil gue.

"Fara.." Ada jeda setelah dia manggil nama gue, dan gue otomatis -atau lebih tepatnya sengaja- berhenti berjalan, namun tidak menoleh apalagi membalikkan badan. "Aku balik ke Jakarta cuman buat kamu, Ra." Kalimat itu yang keluar dari mulut Azka selanjutnya.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang