48. Before I Go

1.1K 85 0
                                    

Malam hari ini sepulang kantor, gue, Velis dan Didit telah membuat janji untuk makan malam bersama di Kila-Kila. Didit yang berperan sebagai supir kami malam ini, bertugas menjemput gue dan Velis di kantor kami masing-masing. Kemudian dengan menaiki mobil yang sama, kami menuju restoran yang telah disepakati.

"Toronto, for sure?" Gue berucap kaget melihat email yang ditunjukkan Velis di ponsel miliknya.

Selepas kami sampai di Kila-kila dan memesan makanan. Mulailah kami pada sesi talkie-talkie, sebutan gue dan Velis ketika kami berkumpul dan membahas apapun itu tentang hidup kami masing-masing, yang dimulai dengan berita mengejutkan dari Velis.

Email itu diawali dengan kata "Congratulation" yang kemudian dilanjutkan dengan fakta bahwa pemilik email itu telah diterima sebagai mahasiswa program master degree di University of Toronto.

"Yaps, gue nggak langsung cerita ke kalian karena gue nunggu kepastian. Dan sekarang karena udah pasti, baru deh gue cerita." Jelas Velis mengambil kembali ponselnya dari tangan gue.

"Waahh... Congratulation honeeyy." Gue yang saat ini duduk bersebelahan dengan Velis langsung memberikan pelukan selamat. Dilanjutkan oleh Didit yang usil mengacak-acak rambut Velis sebagai ucapan selamat versinya.

"Jadi udah nggak ada yang tersisa di Jakarta dong. Gue di Australi, Fara di UK, terus sekarang Velis di Canada." Ujar Didit sambil mencomot kentang goreng yang baru saja dihidangkan, menunjuk wajah gue dan Velis bergantian menggunakan kentang goreng itu. Oh, gue baru sadar, kami bertiga memilih universitas di tiga Benua yang berbeda.

"Udah waktunya juga kan. Lagian kalian berdua pada kabur, ngapain juga gue masih di Jakarta."

"Kabur?" Tanya Didit dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Nggak usah belagak polos lo Dit. Lo pikir gue nggak tau lo cepet-cepet mau lanjut S2 kenapa." Gue merasakan lirikan dari Velis ketika mulutnya berucap menjawab pertanyaan Didit. Sedangkan Didit mengusap belakang kepalanya kikuk.

Gue memilih diam, meskipun gue sangat paham maksud gesture mereka saat ini. Lirikan Velis memiliki arti kalau gue adalah penyebab Didit memilih untuk langsung melanjutkan S2 tak lama setelah lulus. Dan gesture Didit menunjukkan bahwa ucapan Velis itu valid.

"Dan lo Ra, gue kenal lo dari SMP. Entah kata kabur tepat atau enggak, yang jelas dengan prinsip dan idealisme hidup lo itu. Lo akhirnya memilih menjauh dari Allen, untuk ketenangan hidup lo dan tentu saja untuk pendidikan dan karier lo. Bilang kalau gue salah." Lanjutnya, kini terang-terangan menatap gue.

"Seperti biasa, seorang Velisya memang yang paling mengerti tentang kita Dit." Diakhiri dengan kekehan, gue menyetujui apapun yang diucapkan Velis. Melakukan high five dengan Didit, pertanda bahwa kami berdua tidak memiliki pembelaan apapun tantang teori yang Velis tuturkan.

Diantara kami bertiga, Velis memang yang paling peka, paling perasa, dan paling perhatian pada hal sekecil apapun. Tidak heran jika dia bisa menilai kami dengan baik, meskipun kami tidak banyak bercerita atau bahkan kami jarang bertemu.

Sekarang rencana dan impian kami sejak SMA akhirnya satu persatu mulai terwujud, dengan resminya kami yang akan segera meninggalkan negara tercinta. Flash back enam tahun lalu, kami pernah memimpikan hal ini. Menempuh pendidikan di seberang benua, merasakan kehidupan diaspora yang mandiri, mempelajari budaya negara seberang, kemudian memulai karier yang sukses dan menghasilkan banyak uang dengan jerih payah diri sendiri. Terlepas dari bayang-bayang kesuksesan keluarga kami.

"Terus lo kabur dari apa Vel?" Kini Didit balik bertanya pada Velis. Pertanyaan retoris yang hanya digunakan untuk memancing reaksi sahabat kami yang satu ini. Dan benar saja, Velis terdiam, tidak berniat menjawab pertanyaan Didit. Pertanda bahwa bahasan ini masih membuatnya tidak nyaman, pertanda bahwa perasaannya belum berubah sama sekali meski dengan kehadiran Elang sejak berbulan-bulan yang lalu.

Caffeine (Completed)Where stories live. Discover now